Rabu 03 Jul 2019 09:10 WIB

Kemarau Berpotensi Turunkan Produksi Beras

Telah terjadi pergeseran musim panen, terutama di wilayah Jawa dan Sumatra.

Petani membajak sawahnya yang mengalami kekeringan di Persawahan kawasan Citeureup, Bogor, Jawa Barat, Selasa (2/7/2019).
Foto: Antara/Yulius Satria Wijaya
Petani membajak sawahnya yang mengalami kekeringan di Persawahan kawasan Citeureup, Bogor, Jawa Barat, Selasa (2/7/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Musim kemarau perlu diwaspadai. Produksi beras berpotensi menurun, terlebih lahan pertanian di sejumlah daerah mengalami kekeringan dan terancam puso.

Guru Besar Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB) Dwi Andreas Santosa mengatakan, potensi turunnya produksi beras dibandingkan tahun bukan hanya karena adanya musim kemarau, tetapi juga lantaran bergesernya musim tanam. "Mengapa produksi bisa rendah? Karena berkurangnya luas panen padi. Ini belum kekeringan, kita baru bicara luas panen yang berkurang karena terjadi pergeseran musim tanam," ujar Dwi, Selasa (2/7).

Menurut Dwi, telah terjadi pergeseran musim panen, terutama di wilayah Jawa dan Sumatra. Selain itu, musim tanam pertama tahun ini mundur pada bulan April sehingga musim panen raya diperkirakan terjadi pada Agustus atau bertepatan puncak kemarau. "Untuk itu, hampir saya pastikan produksi beras atau padi secara nasional lebih rendah dibandingkan tahun lalu," kata dia.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), produksi padi tahun lalu sebanyak 32,5 juta ton setara beras. Adapun, Kementerian Pertanian menargetkan produksi padi sepanjang 2019 mencapai 84 juta ton atau setara 49 juta ton beras.

Dwi memperkirakan, produksi beras nasional akan berkurang sebanyak 2 juta ton. Ia menyarankan, pemerintah menghitung lagi jumlah cadangan stok beras nasional yang ada di Bulog dan pedagang untuk mengantisipasi menurunnya produksi pangan di bulan Agustus karena kekeringan. "Kalau bisa menghitung dengan jelas dan pas maka pemerintah bisa menetapkan kebijakan dengan pas untuk memenuhi stok," katanya.

Ekonom Indef Rusli Abdullah mengatakan, pemerintah perlu melakukan sejumlah langkah antisipasi untuk menjaga ketersediaan pangan. Musim kemarau, menurut Rusli, berdampak pada menurunnya produksi pangan di sejumlah daerah sehingga dikhawatirkan mengakibatkan harga pangan seperti beras melambung tinggi. "Antisipasi bulan Agustus (harga) beras akan naik karena dampak kekeringan, terutama di Jawa bagian selatan," kata Rusli.

Berdasarkan data InaRisk dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), risiko kekeringan di Indonesia mencapai 11,77 juta hektare tiap tahunnya dan berpotensi menimpa 28 provinsi. Oleh karena itu, pemerintah perlu memantau daerah mana saja yang terdampak kekeringan dan menjaga pasokan pangan di daerah tersebut dengan menggunakan stok beras dari Bulog. "Beras Bulog itu juga banyak melimpah dan bisa diupayakan dan disalurkan ke daerah yang terkena kekeringan," ujarnya.

Seluas belasan ribu hektare lahan pertanian di Provinsi Jawa Barat yang merupakan salah satu lumbung pangan nasional dilaporkan mengalami kekeringan. Potensi gagal panen pun semakin besar akibat kerusakan irigasi memperluas potensi gagal panen lahan.

photo
Warga menunjukkan lahan sawah yang mengalami kekeringan di Kabupaten Bekasi, Jumat (28/6).

Berdasarkan data Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura Jabar per 28 Juni 2019, seluas 12.048 hektare lahan telah mengalami dampak dengan klasifikasi rusak ringan, sedang, besar, hingga puso. Kepala Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura Jawa Barat Hendi Jatnika mengatakan, dari 573.842 hektare lahan pertanian di Jawa Barat, sebanyak 52.983 hektare terancam kekeringan pada musim kemarau ini. Sedangkan, sebanyak 82 hektare lahan sudah mengalami puso.

"Secara umum, daerah yang mengalami kekeringan adalah area sawah dengan kondisi irigasi yang rusak," ujar Hendi kepada wartawan, Selasa (2/7).

Hendi mengatakan, kerusakan sejumlah irigasi tersebut mengakibatkan aliran air tidak mencapai sawah yang letaknya jauh di desa-desa. Sebanyak 82 hektare telah mengalami gagal panen tersebut terjadi di Sukabumi, Cianjur, dan Cirebon. Faktor lainnya karena lahan yang mengalami kekeringan tersebut berada di kawasan irigasi nonteknis, yakni meliputi sawah tadah hujan, sehingga sumber air hanya ada pada saat musim hujan.

Menurut Hendi, pihaknya telah melakukan berbagai upaya untuk mengantisipasi gagal panen. Salah satunya dengan melakukan standing crops atau menyelamatkan sejumlah tanaman yang telah ada. "Yang masih memungkinkan dengan pompanisasi, kita lakukan pemanfaatannya untuk mempertahankan tanaman yang ada," katanya.

Direktur Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian Kementerian Pertanian (Kementan) Sarwo Edhy sebelumnya mengatakan, Kementan sudah melakukan berbagai antisipasi untuk mengatasi kekeringan. Di antaranya membangun pompa air untuk menyedot air dari sungai atau sumber mata air lain dan mengalirkannya ke lahan pertanian, khususnya lahan yang terletak di daerah dengan potensi kekeringan tinggi.

Selama tiga tahun, Sarwo menjelaskan, Kementan sudah membangun infrastruktur air seluas 3 juta hektare. Infrastruktur ini dapat meminimalkan dampak kekeringan di area pertanian. "Setidaknya 3,1 juta hektare lahan dapat merasakan dampaknya," ucapnya saat dihubungi Republika, Selasa (25/6).

Menurut Sarwo, total lahan tersebut sudah mengalami peningkatan indeks pertanaman (IP) 0,5 poin. Dampaknya, peningkatan produksi di lahan sebanyak 8,21 juta ton. Kementan juga sudah menurunkan tim khusus penanganan kekeringan di wilayah sentra produksi padi. Mereka bertugas melakukan koordinasi dengan pihak terkait, termasuk pemerintah daerah setempat dan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR). n arie lukihardianti/adinda pryanka/antara, ed: satria kartika yudha

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement