Senin 01 Jul 2019 07:19 WIB

Bendung Katulampa Alami Kekeringan

Solusi jangka panjang dengan mencari cara bagaimana memanen air hujan.

Rep: Zainur Mahsir Ramadhan/ Red: Bilal Ramadhan
Sejumlah anak melihat kondisi Bendungan Katulampa yang mengering di kota Bogor, Jawa Barat, Sabtu (29/6/2019).
Foto: Antara/Yulius Satria Wijaya
Sejumlah anak melihat kondisi Bendungan Katulampa yang mengering di kota Bogor, Jawa Barat, Sabtu (29/6/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR – Menghadapi musim kemarau yang terjadi saat ini, ketinggian debit air Ciliwung yang dari Bendung Katulampa, Kota Bogor, Jawa Barat, berada pada titik terendahnya atau nol sentimeter. Kekeringan tersebut terjadi sejak beberapa hari lalu karena debit hujan mulai berkurang.

Kepala Pengawas Bendung Katulampa Andi Sudirman mengatakan, kekeringan yang terjadi di Katulampa terjadi sejak Sabtu (29/6). Menurut dia, seluruh air yang ada telah masuk ke saluran irigasi.

Kendati demikian, menurut dia, dari debit air Katulampa yang tersalurkan ke saluran irigasi sebanyak 3.000 liter tersebut sudah dialokasikan untuk masuk kepada sistem penggelontoran menuju Ciliwung sebanyak 200 hingga 300 liter.

“Sebanyak 2.800-an dari total 3.000 liter sisanya masuk ke irigasi untuk menjaga ekosistem air tetap lancar dan tidak mengalami kekeringan parah,” kata Andi kepada Republika, Ahad (30/6).

Menurut dia, total debit air sekitar 3.000 liter tersebut hanya cukup untuk sistem irigasi dan belum bisa untuk melayani kebutuhan lainnya. Dia menegaskan, keadaan saat ini di Katulampa tidak kering total, tetapi jika hujan tidak kunjung turun dikhawatirkan air baku untuk wilayah di Bogor dan sekitarnya akan terdampak.

“Kita usahakan untuk tetap mengalirkan ke Ciliwung, walaupun hanya sedikit, dan kita tekankan jangan sampai Ciliwung kekeringan karena ada dampak bagi Kabupaten Bogor dan Depok serta wilayah lain juga,” ujar dia.

Dia menuturkan, jika aliran ke Ciliwung kering, produksi PDAM akan berkurang drastis karena pengolahannya berasal dari Ciliwung. Menurut dia, dengan kondisi di Katulampa seperti sekarang ini, pengairan masih bisa bertahan dengan debit 3.000 liter tersebut. Andi menambahkan, kekeringan ini memang merupakan siklus yang terjadi setiap tahunnya.

“Puncaknya itu biasa terjadi pada Juni, Juli, Agustus, dan kembali normal biasanya Oktober ketika hujan mulai turun kembali,” kata dia.

Andi mengklaim, jika debit berada di bawah angka 2.000, itu artinya pengairan dari Katulampa ataupun Ciliwung sudah sangat kritis. Dia menegaskan, hal serupa yang pernah terjadi dan paling parah adalah pada 1997 di mana debitnya hanya sekitar 1.500.

“Untuk menghindari kekeringan total, kami harus melakukannya secara bergilir, ke irigasi berapa debitnya, pun begitu ke Ciliwung berapa,” kata dia menjelaskan.

Dia menegaskan, saat ini, kekeringan belum separah tahun-tahun sebelumnya. Tapi, hujan diperlukan agar kekeringan dan kebutuhan air baku terpenuhi bagi masyarakat.

Ahli Ekologi dan Manajemen Lanskap Institut Pertanian Bogor (IPB) Hadi Susilo Arifin mengatakan, beberapa daerah memang memiliki karaketristik curah hujan yang berbeda. Menurut dia, Bogor sebagai Kota Hujan harusnya bisa menyimpan cadangan air lebih banyak dari wilayah lainnya. Hal tersebut juga untuk membantu daerah sekitar yang terkena dampak lebih parah.

“Kemarau yang berkepanjangan memang menyebabkan kekeringan, tetapi kemarau sekarang memang tidak normal, dan salah satu indikatornya itu debit Katulampa turun,” kata Hadi.

Dia menyatakan, Katulampa hanya sebagai indikator dari kekeringan, sambungya, saluran dari aliran Ciliwung yang akan menyebabkan dampak secara keseluruhan ke depannya. Dia menambahkan, kekeringan yang terjadi di Kota Bogor dan sekitarnya itu dikarenakan global warming dan kekurangan air merupakan hasil dari proses tersebut.

Menurut dia, kekurangan air sebagai sumber air baku akan menyebar dampaknya ke berbagai pihak yang banyak menggunakan air dari Ciliwung dalam kegiatannya, seperti rumah tangga melalui PDAM ataupun pabrik, sawah, dan lainnya.

“Dengan adanya kemarau, mata air Ciliwung akan menyusut, otomatis mata air lain juga akan menyusut. Sungai yang menyuplai air baku akan terkena dampak, sehingga berbagai pihak yang menggunakan air dari Ciliwung yang merasakannya,” ujar dia.

Dia menuturkan, di musim kemarau, kuantitas air memang menurun, tetapi secara kasat mata kualitas air akan lebih jernih meskipun kandungan kimiawinya lebih tinggi, sehingga hal tersebut juga akan berbahaya dari sisi konsentrasinya.

“Solusi hanya ada pada jangka panjang, intinya masyarakat dan pemerintah beserta seluruh stake holder-nya harus sadar dengan cara memanen air hujan atau rain water harvesting,” kata dia.

Dia mengatakan, sebenarnya siklus tahunan memang sewajarnya terjadi, tetapi Bogor sebagai daerah yang sering terkena hujan seharusnya menyimpan banyak cadangan air. Dia memaparkan, ketika ada hujan akan lebih baik jika semua pihak bisa mulai memanennya, baik itu dimulai dari rumah dan menampungnya melalui drum-drum atau dengan skala besar dengan menyiapkan tangki di bawah fondasi agar ada cadangan air.

“Tradisionalnya memang dengan menggunakan sumur. Jadi, tinggal disedot menggunakan jet pump, itu artinya memanen juga. Harus ada pembangunan situ juga atau bendungan-bendungan oleh pemerintah,” ujar dia.

Dia menegaskan, pemerintah disarankan untuk tidak mengutamakan penghijauan. Memang penghijauan baik dan bisa menyimpan cadangan air, tapi hanya sedikit yang tersimpan.

Menurut dia, cara efektif untuk menghindari kekeringan ketika musim kemarau adalah dengan cara membangun situ ataupun bendungan lainnya agar bisa dipanen secara terorganisasi ketika kekeringan terjadi.

“Kedua musim yang ada di Indonesia itu sebenarnya anugerah dan itu bisa dimanfaatkan jika kita mengetahuinya. Itu yang harus diketahui dan disyukuri,” ujar dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement