REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia Adi Prayitno mengatakan rekonsiliasi antara Joko Widodo (Jokowi) dan Prabowo Subianto setelah putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait sengketa hasil Pilpres 2019 sebagai simbol politik di tingkat elite. Rekonsiliasi ini menjadi simbol bahwa Prabowo mengakui Jokowi sebagai Presiden Indonesia yang dilahirkan dari proses yang demokratis.
Setelah putusan MK yang menolak permohonan pasangan Calon Presiden-Wakil Presiden nomor urut 02, Prabowo belum mengucapkan selamat atas terpilih Jokowi sebagai presiden terpilih. Menurut akademisi UIN Syarif Hidayatullah itu, sikap yang ditampilkan Prabowo saat membacakan pidato dapat melanggengkan narasi kecurangan pemilu yang sudah ada sejak penetapan KPU.
"Semakin mereka tidak mau bertemu, maka masyarakat di bawah akan semakin lama untuk kondusif," katanya saat dihubungi di Jakarta, Jumat (28/6).
Apabila mereka bertemu dan menyampaikan pidato kenegaraan, lanjut Adi, masyarakat yang berada di garis bawah akan mengikuti para pimpinannya yang di atas. Secara khusus, Adi menambahkan, rekonsiliasi dapat berarti pendukung Prabowo-Sandiaga, yang jumlahnya sekitar 68 juta orang, dapat menerima Jokowi sebagai Presiden Indonesia terpilih.
Untuk itu, menurut dia, jika keduanya melakukan pertemuan maka hal tersebut bakal menjadi penanda islah. Sebab, Jokowi dan Prabowo adalah simbol pertarungan politik saat ini.
Menurutnya, rekonsiliasi ini dapat ditunjukkan dengan simbol-simbol seperti yang pernah mereka lakukan sebelumnya, antara lain makan nasi goreng atau naik kuda bersama Ketika ditanyakan terkait dampak rekonsiliasi, Adi mengatakan efeknya akan sangat besar terutama bagi para pendukung kedua calon.
Simbol seperti itu perlu ditunjukkan di depan masyarakat yang terbelah di bawah isu yang berkaitan dengan hoaks dan fitnah, katanya lagi. Adi berpandangan Prabowo perlu berkonsolidasi dengan partai pendukungnya dalam menentukan langkah selanjutnya untuk menenangkan kondisi setelah putusan MK.