Jumat 28 Jun 2019 17:56 WIB

Pembahasan RUU KUHP Fokus Tujuh Isu

DPR RI menargetkan pembahasan RUU KUHP selesai pada akhir Juli 2019.

Rep: Arif Satrio Nugroho/ Red: Ratna Puspita
Wakil Ketua Komisi III Arsul Sani di ruangannya, DPR RI, Jakarta, Selasa (22/1).
Foto: Republika/Arif Satrio Nugroho
Wakil Ketua Komisi III Arsul Sani di ruangannya, DPR RI, Jakarta, Selasa (22/1).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pembahasan Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) telah memasuki tahap konsinyering atau menerima masukan dari pihak terkait. Terdapat tujuh isu krusial dalam RKUHP yang rencananya akan dibahas oleh panitia kerja (panja) pada Juli 2019 mendatang. 

"Di tingkat timus dan tim sinkronisasi DPR dan Pemerintah, ini sudah disepakati oleh semua pihak, tapi tujuh isu ini masih bisa berubah lagi di tingkat panja," kata Anggota Komisi III DPR RI Arsul Sani saat dikonfirmasi Jumat (28/6). 

Baca Juga

Rapat konsinyering berjalan pada 25 - 26 Juni 2019. Isu pertama yang dibahas adalah hukum yang hidup di masyarakat. KUHP saat ini menganut asas legalitas murni, yakni orang baru bisa dijatuhi hukuman pidana bila pelanggaran diatur UU. 

Dalam RUU KUHP baru, menurut Arsul, akan ada aturan perbuatan yang menurut hukum setempat di daerah termasuk pelanggaran pidana adat. "Itu bisa saja diajukan ke pengadilan, tetapi hukumannya hukum adat. Jadi harus diatur melalui perda hukum adat," kata dia.

Perkara kedua terkait pidana mati. Pidana mati di KUHP saat ini termasuk pada pidana pokok. Artinya, bila dijatuhi hukuman pidana mati maka statusnya tetap pidana mati, kecuali diberi grasi oleh presiden sehingga sangat tergantung belas kasihan kepala negara.

Dalam hal ini, DPR dan pemerintah melihat bahwa di banyak negara mulai dilakukan abolisi terhadap hukuman mati. Namun di sisi lain, ada juga yang ingin hukuman mati dipertahankan.

Jalan tengahnya, kata Arsul, hukuman mati tetap ada, tetapi bukan lagi pidana pokok melainkan pidana khusus yang bersifat alternatif. "Misalnya, si A boleh dijatuhi pidana mati. Akan tetapi, melalui mekanisme KUHP yang baru ini, dia tidak boleh dieksekusi. Harus ada masa tunggu 10 tahun. Selama 10 tahun itu, kalo dia berkelakuan baik maka hukumannya harus berubah menjdi seumur hidup," ujar Arsul. 

Ketiga, yakni soal penghinaan terhadap presiden. Di KUHP saat ini, penghinaan presiden sifatnya delik biasa, bukan aduan. MK telah membatalkan aturan tersebut.

DPR dan pemerintah sepakat untuk tidak menabrak putusan MK. "Jadi tetap diatur bahwa itu harus delik aduan. Penghinaan untuk presiden hukumannya lebih tinggi daripada pasal penghinaan terhadap orang biasa," jelas Arsul. 

Perkara keempat yakni soal pasal kesusilaan. Arsul menyebut ada keringanan pemidanaan atas perzinahan.

Selain itu, polemik LGBT dan perbuatan pencabulan akan dibahas secara lebih rinci. Lalu, perkosaan juga mengalami peluasan makna. "Perkosaan juga sudah gender netral. Bisa perkosaan terhadap laki atau perempuan," kata dia. 

Kelima terkait dengan perkara tindak pidana khusus, yakni terorisme, korupsi, narkotika, yang ikut dimasukkan dalam RKUHP. Arsul menegaskan perkara yang dimasukkan hanya pidana inti. 

"Tapi hanya core crime (pidana inti). Aturan lainnya sisanya sesuai dengan UU sektoral masing-masing. Misalnya, untuk tipikor, kan ada 22 jenis spektrum tipikor. Itu tidak semua diatur di KUHP," kata Arsul menjelaskan.

Perkara keenam, yakni terkait ketentuan peralihan. Menurut Arsul, KUHP baru ini akan berlaku lewat UU sektoral selama 3 tahun sejak diundang-undangkan. Jadi, pada intinya peraturan turunan, uu sektoral, dan lain lain, harus sudah ditindaklanjuti mengikuti aturan baru KUHP dalam waktu 3 tahun sejak KUHP diundangkan. 

Isu ketujuh yakni soal ketentuan penutup. Menurut Arsul, di tingkat timus dan tim sinkronisasi DPR dan Pemerintah, tujuh isu ini sudaj disepakati oleh semua pihak. "Tapi, tujuh isu ini masih berubah lagi di tingkat panja," kata Arsul. 

Politikus PPP ini mengatakan, tidak ada isu lain yang bakal dibahas di Panja di luar enam isu ini. Kecuali, kata dia, ada fraksi partai yang berubah sikap terhadap isu yang sudah disepakati sehingga bisa saja ada isu lain masuk ke panja.

Arsul menyatakan, DPR RI menargetkan pembahasan RUU KUHP bisa selesai sebelum masa sidang pada akhir Juli 2019. Ditargetkan pembahasan sudah selesai dibahas di tingkat I, di tingkat panja DPR dan Pemerintah. Sehingga, saat pembahasan tingkat II atau persetujuan bisa dilakukan saat rapat paripurna. 

"Rasanya tidak akan ada perubahan lagi setelah ketok palu di tingkat I. Pembahasan selesai Juli ini, pengesahannya msh bisa setelah reses. Sekitar agustus september masih bisa. Yang penting masa jabatan (2014-2019) ini," ucap Arsul. 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement