Sabtu 29 Jun 2019 00:09 WIB

Jangan Rusak Alam Hanya Demi Instagram

Demi foto bagus untuk diunggah di Instagram banyak alam yang dirusak.

Geotag Instagram. Jangan abadikan momen pertemuan dengan hewan liar menggunakan geotag di medsos demi menghindari pemburu menemukan hewan liar untuk dibunuh.
Foto: EPA
Geotag Instagram. Jangan abadikan momen pertemuan dengan hewan liar menggunakan geotag di medsos demi menghindari pemburu menemukan hewan liar untuk dibunuh.

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Christia Ningsih*

Sebuah artikel yang dimuat di BBC pekan ini menyebut warga lokal Islandia merasa geram atas tingkah laku para turis dan influencer yang pelesiran ke negaranya. Masyarakat setempat menilai banyak influencer yang kerap merusak fasilitas dan melanggar aturan demi mendapatkan hasil foto yang bagus dan Instagramable.

Menteri Lingkungan Islandia, Gudmundur Ingi Gudbrandsson menyatakan perilaku buruk oleh satu orang yang terkenal bisa ditiru oleh para pengikutnya dan secara dramatis akan memengaruhi lingkungan. Keresahan semacam itu bukanlah pertama kalinya mencuat.

Sejak meroketnya popularitas Instagram, para pengguna media sosial ini berbondong-bondong mengunggah foto-foto terbaiknya, termasuk foto saat liburan. Viralnya foto tempat liburan bisa berpotensi merusak objek wisata dan lingkungan sekitarnya.

Tak usah jauh-jauh ke Islandia, kita tentu masih ingat peristiwa rusaknya taman bunga Amarylis di Kecamatan Patuk, Gunung Kidul, Daerah Istimewa  Yogyakarta. Taman bunga milik Sukadi ini awalnya tidak dikenal. Namun sejak diposting di Instagram, wisatawan ramai-ramai menyerbunya.

Hasilnya, bunga-bunga yang bermekaran indah jadi mati terinjak-injak pengunjung yang ingin mengabadikan fotonya di tempat itu. Rasa penasaran dan hasrat ingin pamer di Instagram membuat taman yang tadinya cantik berubah menjadi tak menarik.

Seorang kawan saya yang tinggal di Malang juga pernah mengeluhkan perihal maraknya demam Instagramable. Ia prihatin atas menjamurnya kafe-kafe dan objek wisata baru di Malang dan Batu. "Pohon-pohon ditebas demi membangun tempat wisata yang Instagramable," begitu kira-kira keluhan dia.

Maret lalu, Travel and Leisure menurunkan sebuah artikel berjudul How Your Instagram Geotag Might be Putting Wild Animals and Natural Areas at Risk Around the World. Isinya kurang lebih menyoroti tentang betapa bahayanya tagging lokasi saat kita mengunggah foto di media sosial. Tempat yang seharusnya masih asri dan dihuni aneka satwa liar jadi serbuan banyak orang karena mereka ingin punya foto yang 'wow' gara-gara melihat lokasi tagging dalam sebuah postingan viral.

Sejak ada media sosial seperti Instagram dan Facebook, piknik tak lagi hanya berfokus pada menikmati suasana atau membangun interaksi dengan orang-orang sekitar. Instagram dan Facebook telah menjadi media sosial yang bisa menyulap penggunanya berpikir tentang aku, aku, dan aku.

Pokoknya aku harus punya foto yang bagus saat traveling dan nanti dipamerkan di Instagram. Pokoknya orang-orang harus tahu aku sudah pernah ke tempat menakjubkan ini. Aku ingin terlihat lebih dari yang lain, begitulah kira-kira.

Tidak semua pengguna Instagram seperti itu, tapi golongan yang berperilaku demikian memang ada. Akhirnya kita, pengguna media sosial, terjebak pada ego dan narsisme demi konten.

Demi memuaskan keinginan sekelompok warga Instagram (dan meraup untung tentu saja) kini kita banyak mendapati objek wisata yang mendaku diri sebagai objek wisata Instagramable. Tidak dipungkiri daya tarik objek wisata yang diklaim Instagramable dapat menggerakkan perekonomian. Akan tetapi tak jarang kita melihat pemandangan alam yang sebenarnya sudah indah 'dirusak' hanya agar tercipta spot foto yang katanya Instagramable.

Spot foto dengan latar belakang huruf yang menunjukkan nama tempat, bangunan yang dicat warna-warni, tiruan sarang burung raksasa di tepi tebing, hingga bentuk sepasang sayap sudah sangat banyak kita temui di berbagai objek wisata. Ada pula lembah yang mendadak 'dihiasi' dengan bangunan yang menyerupai ikon wisata di Eropa atau Korea sana.

Jujur, saya melihatnya malah prihatin. Keindahan alami yang tersaji dan sudah Instagramable justru 'diganggu' dengan hadirnya bangunan-bangunan artifisial seperti itu.

Sudah saatnya pemerintah, baik pusat atau daerah, ikut mengatur pembangunan dan pengelolaan tempat-tempat Instagramable. Jika tidak, masyarakat akan terus berlomba-lomba membuat spot-spot yang sebenarnya malah tidak Instagramable dan justru merusak alam.

Lebih dari itu, kawasan yang ditumbuhi pepohonan dan menjadi daerah resapan air jangan sampai dikorbankan hanya untuk membangun tempat Instagramable. Pemerintah juga perlu menerbitkan aturan mengenai pembatasan jumlah kunjungan wisatawan ke objek wisata tertentu demi menjaga kelestariannya.

Sebagai contoh adalah pemerintah Peru yang membatasi kunjungan wisata ke Machu Picchu maksimal hanya empat jam. Contoh berani lain adalah Thailand yang menutup Maya Beach hingga 2021 demi memulihkan ekosistem alamnya.

*) Penulis adalah jurnalis republika.co.id

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement