Rabu 26 Jun 2019 07:38 WIB

Lionel Messi dan Penantian Juara Bersama Argentina

Lionel Messi belum pernah sekalipun membawa negaranya juara di level senior.

Israr Itah
Foto: Republika/Kurnia Fakhrini
Israr Itah

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Israr Itah*

Lionel Messi baru saja berulang tahun ke-32 pada Senin (24/6) lalu. Usia yang sangat matang menuju senja kala bagi pesepak bola kelas dunia yang menuntut ketangguhan fisik prima.

Dalam rentang 15 tahun berkarier di sepak bola profesional, puluhan trofi sudah ia dapatkan, baik bersama klub, maupun penghargaan individual. Bersama Barcelona, ada 34 trofi bergengsi direngkuh Messi. La Pulga 10 kali menjuarai La Liga, 4 Liga Champions, 6 kali Copa del Rey, 8 Piala Super Spanyol, 3 Piala Super Eropa, dan 3 Piala Dunia Antarklub.

Pada level personal, Messi 5 kali meraih trofi Ballon d'Or, 1 kali Pemain Terbaik FIFA, dan 2 kali Pemain Terbaik UEFA. Masih ada sederet trofi individu lain miliknya yang akan sangat panjang kalau dituliskan di sini.

Bagi sebagian penikmat sepak bola, Messi adalah pemain terbaik sejagat. Gocekan yahudnya di lapangan dan ketergantungan Barcelona padanya jelas terasa. Prestasinya di lapangan hijau sulit disamai pesepak bola top pada masa lalu hingga sekarang. Tapi itu bagi sebagian. Sebagian lagi berpandangan berbeda, malah sebaliknya. Alasannya, Messi belum lengkap didapuk sebagai pemain terbaik jika belum mempersembahkan gelar bersama negaranya.

Tunggu dulu, bukankah Messi pernah juara Piala Dunia U-20 bersama Argentina pada 2005 dan kemudian berjaya di Olimpiade 2008 dengan meraih emas sepak bola? Hmm...mohon maaf, di level dunia, prestasi pada kategori usia muda bukanlah sesuatu yang istimewa. Walau diapresiasi tinggi, pencapaian trofi atau emas pada kejuaraan usia muda di sepak bola tak masuk hitungan. Alhasil, Messi butuh sesuatu yang lebih besar, trofi Piala Dunia atau Copa America.

Sebagai bandingan, rival terberat Messi di lapangan hijau saat ini Cristiano Ronaldo sudah mengakhiri penantian panjang trofi bergengsi bersama negaranya. Ronaldo menjuarai Piala Eropa 2016 bersama Portugal pada usia 31 tahun. Sedangkan Messi sudah berusia 32 tahun, namun belum ada tanda-tanda ia akan mengakhiri puasa gelar bersama Tim Tango.

Benar, saat ini Argentina tengah bertarung di Copa America 2019. Selalu ada peluang bagi Messi tampil di partai puncak dan keluar sebagai pemenang. Tapi bila mempertimbangkan berbagai aspek, saya memperkirakan Messi akan kembali gigit jari tahun ini.

Argentina hadir di Copa America 2019 dengan berbagai kekurangan. Masalah internal di Federasi Sepak Bola Argentina (AFA) membuat Tim Tango tak mendapatkan pelatih top. Alhasil, AFA 'hanya' mengangkat mantan bek Argentina dan Deportivo La Coruna, Lionel Scaloni. sebagai pelatih tetap setelah menjalani percobaan selama empat bulan. Scaloni hanya membuat tujuh penampilan untuk negaranya sebagai pemain bertahan. Di level klub, ia memiliki karier yang panjang dan bervariasi di Argentina, Spanyol, Inggris, dan Italia.

Sebagai pelatih, rekam jejak Scaloni lebih minim. Ia hanya menjadi asisten Jorge Sampaoli di klub La Liga Sevilla pada 2016. Saat Sampaoli menjadi pelatih Argentina pada 2017, Scaloni mengikutinya.

Sampaoli dipecat setelah Piala Dunia 2018 ketika Argentina dihentikan Prancis di babak 16 besar. Scaloni kemudian ditunjuk menggantikan posisi Sampaoli menjadi pelatih sementara dan kemudian menjabat secara permanen mulai November 2018. Rekam jejak seperti ini tak cukup meyakinkan untuk menangani tim Argentina yang berisi sejumlah pemain top, raising star, dan sang megabintang Messi.

Buktinya terlihat pada kiprah Argentina di fase grup. Setelah menelan kekalahan 0-2 dari Kolombia dan bermain imbang 1-1 kontra Paraguay, Argentina baru memastikan lolos ke perempat final setelah menaklukkan Qatar 2-0 pada laga terakhir Grup B untuk menjadi runner-up grup.

Tim Tango dianggap hanya kumpulan pemain bertalenta tanpa kesatuan solid sebagai tim. Lini depan Argentina tak tajam meski hadir sederet nama kelas dunia, yakni Messi, Sergio Aguero, Paulo Dybala, dan Lautaro Martinez. Lini belakang pun mengkhawatirkan.

Argentina akan bertemu Venezuela di perempat final pada Sabtu (29/6) dini hari WIB. La Vinotinto merupakan runner-up Grup A di bawah Brasil. Skuat asuhan Rafael Dudamel baru kebobolan satu gol dari tiga laga, di antaranya menahan Brasil imbang tanpa gol. Bukan pekerjaan mudah bagi Argentina menghadapi tim yang negaranya tengah diguncang krisis ekonomi tersebut. Venezuela punya keuntungan psikologis kemenangan 3-1 atas Argentina dalam laga uji coba, akhir Maret lalu.

Okelah, ini bukan laga uji coba. Para pemain bintang Argentina punya jam terbang tinggi bermain di pertandingan ketat level klub. Kelas Tim Tango masih di atas lawannya. Banyak alasan lain bisa diapungkan untuk menjagokan Argentina lolos ke semifinal. Tapi setelah inilah langkah Messi dkk tak akan berlanjut. Sebab, Argentina kemungkinan besar akan menghadapi Brasil di empat besar. Selecao sebelumnya harus meladeni Paraguay di perempat final. Jika tak ada sesuatu yang spesial, Dani Alves dkk akan mampu melewati Paraguay.

Potensi terjadinya laga klasik Amerika Selatan ini berpeluang besar terjadi. Menurut saya, Brasil akan keluar sebagai pemenangnya dan Messi akan kembali menjadi pesakitan.

Bukan apa-apa, tim Samba bermain cukup konsisten meskipun mendapat pukulan cedera Neymar. Tanpa sang bintang yang hobi menggocek bola, Brasil tetap menunjukkan ancaman. Roberto Firmino, Philippe Coutinho, dan David Neres menebar masalah di lini pertahanan lawan Selecao dalam tiga laga fase grup. Bermain di hadapan pendukung sendiri menjadi keuntungan tersendiri bagi Selecao. Selain dukungan fan, beberapa keputusan ofisial pertandingan dituding menguntungkan Brasil. Hal yang masih lumrah terjadi di turnamen sepak bola dunia bahwa ada keuntungan yang samar dari wasit untuk tuan rumah.

Saya jadi teringat obrolan dengan seorang rekan wartawan asal Brasil, Vinicius, sebulan lalu. Ia menjelaskan, ketika ada peristiwa buruk di tempat asalnya, orang-orang di sana akan menyebutnya tujuh satu, merujuk skor kekalahan memalukan tim Samba 1-7 dari Jerman pada semifinal Piala Dunia 2014 di Brasil. Orang Brasil, kata dia, masih sulit melupakan kekalahan menyakitkan itu karena terjadi pada event sebesar Piala Dunia dan di berlangsung di rumah sendiri.

"Tapi, walaupun itu menyakitkan, rasanya akan lebih buruk kalau kami tersingkir dari Argentina. Walau misalnya hanya kalah 0-1, tapi rasa sakit dijegal Argentina akan melebihi kepedihan dari kekalahan besar lawan Jerman," kata pria asal Sao Paulo ini.

Dapat dibayangkan betapa mati-matiannya para pemain Brasil berjibaku di lapangan andai benar mereka nanti berhadapan dengan Argentina di semifinal Copa America 2019. Beberapa pemain yang merasakan pedihnya dipermalukan Jerman lima tahun lalu, pasti tak akan mau merasakan pengalaman serupa. Dari sisi taktikal, pelatih Brasil Tite punya kapasitas cukup untuk mendampingi tim sebesar Selecao. Tite juga sudah tiga tahun mendampingi Selecao dan sudah memahami keunggulan dan kekurangan pemainnya.

Bila Scaloni tanpa taktik istimewa, Messi dkk tak bermain brilian, dan keberuntungan tak memihak Tim Tango, saya memperkirakan Argentina akan terjungkal. Messi harus kembali meratapi kegagalan meraih trofi bersama Argentina.

*) Penulis adalah jurnalis republika.co.id

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement