REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Penyakit akibat kerja kurang disoroti dibandingkan kecelakaan kerja dalam sosialisasi keselamatan dan kesehatan kerja (K3). Kepala Subdit Pengawasan Norma Konstruksi Bangunan, Listrik dan Penanggulangan Kebakaran Kemenaker Sudi Astono mengatakan penyakit akibat kerja tidak disosialisasikan secara masif.
"Kita sadari pentingnya K3, kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja. Namun penyakit akibat kerja ini tidak dipopulerkan (sosialisasikan)," kata Sudi Astono, dalam acara Peluncuran Profil Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) Nasional, di Jakarta, Kamis (26/6).
Ia menyebut dari data pemberian kompensasi berupa Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) melalui BPJS Ketenagakerjaan, hampir sebagian besar yang diberikan kompensasi berupa kasus kecelakaan kerja, baik yang terjadi di perusahaan tempat kerja maupun kecelakaan yang terjadi akibat hubungan kerja, seperti kecelakaan lalu lintas pada rute perjalanan dari tempat tinggal ke perusahaan.
Untuk kasus penyakit akibat kerja yang ditanggung oleh JKK, masih sangat sedikit. "Rata-rata hanya 25 kasus penyakit akibat kerja per tahun yang ditanggung JKK," katanya.
Hal ini menunjukkan bahwa perlindungan K3 di Indonesia masih lebih mendominasi pada perlindungan pekerja dari kasus kecelakaan kerja dan masih sangat kurang dalam perlindungan pekerja dari penyakit akibat kerja.
Sudi mengatakan kasus kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja cenderung meningkat di Indonesia, baik dalam jumlah kasus maupun tingkat keparahan kasus.
Namun demikian, data kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja yang tercatat masih sangat sedikit dibandingkan kemungkinan potensi yang ada.
"Ini karena masih rendahnya tingkat pelaporan K3," katanya.