Kamis 27 Jun 2019 19:17 WIB

KPK Panggil Tersangka BLBI

KPK akan periksa pemegang saham pengendali BDNI Sjamsul Nursalim dan istrinya

Rep: Dian Fath Risalah/ Red: Esthi Maharani
Sjamsul Nursalim tersangka perkara BLBI.
Sjamsul Nursalim tersangka perkara BLBI.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjadwalkan memeriksa pemegang saham pengendali BDNI Sjamsul Nursalim dan istrinya Itjih Nursalim sebagai tersangka kasus dugaan korupsi penerbitan Surat Keterangan Lunas Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (SKL BLBI), Jumat (27/6). Pemeriksaan ini akan menjadi pemeriksaan perdana yang dijalani Sjamsul dan Itjih setelah ditetapkan sebagai tersangka pada 13 Mei 2019 lalu.

"Pemeriksaan akan dilakukan Jumat, 28 Juni 2019 pukul 10.00 di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan," kata Jubir KPK Febri Diansyah melalui pesan singkat, Kamis (27/6).

Febri menuturkan, surat panggilan untuk dua tersangka tersebut telah dikirimkan ke lima alamat di Indonesia dan Singapura. Di Indonesia, KPK mengirimkan surat panggilan pemeriksaan ke rumah para tersangka di Simprug, Grogol Selatan, Jakarta Selatan, sejak Kamis, 20 Juni 2019.

"Untuk alamat di Singapura, KPK mengirimkan surat panggilan pemeriksaan melalui Kedutaan Besar Republik Indonesia, ke empat alamat, sejak Jumat, 21 Juni 2019, yaitu: 20 Cluny Road; Giti Tire Plt. Ltd. (Head Office) 150 Beach Road, Gateway West; 9 Oxley Rise, The Oaxley dan 18C Chatsworth Rd," tutur Febri.

Selain mengantarkan surat panggilan pemeriksaan tersebut, KPK juga meminta Kedutaan Besar Republik Indonesia mengumumkannya di papan pengumuman kantor KBRI Singapura. "Upaya pemanggilan tersangka juga dilakukan dengan bantuan Corrupt Practices Investigation Bureau (CPIB), Singapura," ujar Febri.

Sjamsul dan Itjih diduga melakukan misrepresentasi terkait dengan piutang petani petambak sebesar Rp4,8 triliun. Misrepresentasi tersebut diduga telah mengakibatkan kerugian keuangan negara sebesar Rp4,58 triliun. Pasalnya, saat dilakukan Financial Due Dilligence (FDD) dan Legal Due Dilligence (LDD) disimpulkan bahwa aset tersebut tergolong macet dan hanya memiliki hak tagih sebesar Rp220 miliar.

Atas perbuatan tersebut, keduanya disangka melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement