Rabu 26 Jun 2019 16:22 WIB

Pemkab dan DRD Semarang Belum Kompak Soal Lokalisasi

Pemkab Semarang tak mengetahui lokasi lokalisasi yang dimaksud Dewan Riset Daerah

Rep: Bowo Pribadi/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah
Kawasan bekas lokalisasi (ilustrasi)
Foto: Republika/ Yasin Habibi
Kawasan bekas lokalisasi (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, UNGARAN -- Rencana penutupan lokalisasi di Kabupaten Semarang yang dilontarkan Dewan Riset Daerah (DRD) Kabupaten Semarang belum bisa menjadi rekomendasi. Alasannya saat ini antara DRD dengan Pemkab Semarang juga terkesan 'belum kompak', bahkan dalam menyamakan persepsi mengenai keberadaan lokalisasi yang dimaksudkan.

Sekretaris Daerah (Sekda) Kabupaten Semarang, Gunawan Wibisono yang dikonfirmasi mengamini bila fungsi DRD adalah mengkaji, merumuskan kebijakan yang nantinya disampaikan sebagai bahan masukan kepada Bupati dan Pemkab Semarang. 

Baca Juga

Kendati begitu, terkait dengan rencana penutupan lokalisasi, Pemkab Semarang belum melihat masukan DRD seperti apa. Tetapi salah satu produk DRD kepada Pemkab Semarang diakuinya memang cukup bagus.

Misalnya, beberapa waktu lalu ada masukan dari DRD dalam rangka membantu transportasi penduduk miskin di daerah tertinggal atau di wilayah yang berbatasan dengan daerah lain, agar mobilisasi warga di sana semakin gampang.

"Kalau soal rencana penutupan lokalisasi seperti yang disampaikan oleh DRD, tentu kita akan melihat dulu nanti hasil kajiannya seperti apa dan apa yang akan disampaikan atau direkomendasikan kepada Pemkab Semarang," jelasnya, Rabu (26/6).

Karena, jelas sekda, selama ini di Kabupaten Semarang tidak ada lokalisasi atau tempat yang memang disiapkan secara khusus sebagai tempat untuk melokalisasi aktivitas prostitusi. Kecuali tempat seperti pangkalan truk yang akhirnya berkembang dan dianggap sebagai lokalisasi.

Atau lokalisasi yang dimaksud sekarang juga sudah menjadi tempat hiburan malam seperti karaoke. Hanya saja, DRD, tutur dia, sudah mencoba melihat apa yang ada di lapangan tersebut sebagai bahan kajiannya.

Maka apapun masukan dari DRD, tetap akan dijadikan sebagai bahan kajian oleh Pemkab Semarang. Pada prinsipnya, Pemkab Semarang memandang apa yang ada di lapangan perlu diselesaikan secara komperehensif dan terpadu terlebih dahulu secara bersama- sama.

Terpisah, Ketua DRD Kabupaten Semarang, Prof Yusriadi, menegaskan perihal rencana penutupan lokalisasi ini sebenarnya bukan barang yang baru. Bahkan sejak awal bupati juga sudah membuka peluang saat beraudiensi dengan DRD.

Ada sebuah kerisauan dari sisi aspek lingkungan maupun tata kota yang dianggap kurang pantas, karena lokalisasi yang dimaksud depannya rumah sakit. "Selain itu juga dekat dengan lembaga pendidikan atau sekolah, di sebelah utara," jelasnya.

Menurutnya, dalam persoalan ini Pemkab Semarang jangan melihat hukum dari aspek normatifnya saja, undang-undangnya ada atau tidak. Memang Pemkab tidak mengeluarkan peraturan atau produk hukum yang mengatur atau melegalkan sebuah kawasan untuk melokalisir praktik prostitusi.

Sehingga secara normatif tidak ada yang namanya lokalisasi di Kabupaten Semarang, kecuali hanya semacam jalan keluar untuk melakukan pembinaan. Namun aspek lainnya, seperti sosiologis juga harus dilihat dan dipertimbangkan.

Sosiologis adalah konteksnya masyarakat itu melihat fakta yang ada di lingkungannya. "Siapa pun tahu secara sosiologis ada kegiatan prostitusi di sana dan siapa pun tahu 'moto melek mesti weruh' kalau di situ ada praktik itu (aktivitas prostitusi)," tegasnya.

Maka, lanjutnya, sah-sah saja kalau kenudian DRD merekomendasikan itu jangan ada di lokasi tersebut dengan tetap mempertimbangkan berbagai aspek. "Baik itu aspek sosial kemanusiaannya, aspek ekonomi dari mereka, aspek ekonomi dari keturunan mereka dan seterusnya," tandas Yusriadi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement