Senin 24 Jun 2019 20:22 WIB

Pengamat: Rekonsiliasi Bukan Berarti tak Ada Oposisi

Bersatunya oposisi dan pemerintah dinilai berbahaya keseimbangan demokrasi.

Rep: Muhammad Riza/ Red: Teguh Firmansyah
Pasangan Capres dan Cawapres No 02 Prabowo Subianto-Sandiaga Uno menyapa wartawan usai memberikan keterangan terkait hasil final rekapitulasi nasional KPU di Kertanegara, Jakarta, Selasa (21/5).
Foto: Republika/Prayogi
Pasangan Capres dan Cawapres No 02 Prabowo Subianto-Sandiaga Uno menyapa wartawan usai memberikan keterangan terkait hasil final rekapitulasi nasional KPU di Kertanegara, Jakarta, Selasa (21/5).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia, Adi Prayitno mengatakan, rekonsiliasi bukan berarti meleburkan kedua pihak sehingga tidak ada oposisi. Menurutnya, rekonsiliasi hanyalah menurunkan tensi kompetisi, Senin (24/6).

"Secara simbolis, rekonsiliasi merupakan upaya meleburnya elite politik untuk menciptakan stabilitas di akar rumput. Sehingga akhlak berdemokrasi kembali ditegakkan dan tak ada lagi sikap saling menegasi yang tak berkesudahan," kata Adi kepada Republika.co.id melalui keterangan tertulis.

Baca Juga

Dengan demikian, kata ia, fragmentasi tetap harus dijaga. Hanya saja fragmentasi tersebut harus diarahkan untuk kehidupan politik kebangsaan yang lebih berkualitas.

Ia berpandangan, fragmentasi harus diarahkan agar oposisi tetap tumbuh menjalanlan mekanisme kontrol dan keseimbangan (checks and balances).

"Sangat berbahaya jika oposisi dan pemerintah menyatu. Hal itu berbahaya bagi keseimbangan demokrasi. Termasuk berpotensi melahirkan personalisasi kekuasaan politik," ujar dosen Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah tersebut.

Kemudian, ia menambahkan, demokrasi tumbuh karena adanya heterogenitas. Oleh karenanya, ujian dalam berdemokrasi terletak pada seberapa jauh pluralitas dikelola secara produktif. "Biarkan kubu Jokowi dan Prabowo tetap eksis dalam habitus spektrum yang berbeda," ucapnya.

Selanjutnya, ia menyinggung karakter kedua tokoh nasional tersebut. Menurutnya, rekonsiliasi bukanlah hal yang sulit bagi Jokowi dan Prabowo. Pasalnya, kedua tokoh tersebut tidak pernah memiliki jarak psikologis yang ekstrem.

"Sebelum pilpres, mereka kerap bersama. Jokowi pernah mengundang Prabowo makan nasi goreng di Istana Negara. Begitu pula Prabowo, ia pernah mengajak Jokowi naik kuda bareng di Hambalang," kata Adi.

Pada akhirnya, Adi menegaskan, rekonsiliasi tidak boleh dilakukan dengan iming-iming kekuasaan. Rekonsiliasi harus didasari pada sikap tulus ikhlas sebagai buah dari kesadaran moral kolektif. Hal itu merupakan bukti bahwa kedua tokoh tersebut mampu mendahulukan kepentingan bangsa di atas segalanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement