REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Politikus Senior Golkar Yorrys Raweyai menganjurkan agar ketua umum partai berlogo pohon beringin yang berikutnya tidak masuk dalam jajaran pembantu presiden. Hal itu agar ketua umum bisa fokus mengurusi partai mengawal suara di 2024.
"Nah jadi ada pertimbangan untuk siapapun yang memimpin Golkar nggak usah jadi pemerintahan supaya lebih fokus," kata Yorrys Raweyai di Jakarta, Senin (24/6).
Dia mengatakan, Golkar merupakan partai terbuka bagi siapapun kader yang ingin mencalonkan diri sebagai ketua umum. Namun, dia melanjutkan, sosok yang akan menjadi pemimlin partai itu harus dipastikan dan ditanya terlebih dahulu keinginannya untuk menjadi ketua atau masuk dalam kabinet pemerintah.
Yorrys menilai, sulit bagi ketua umum jika dia juga menjabat sebagai pejabat aktif di pemerintahan untuk berkonsolidasi ke bawah. Menurutnya, tugas mengawal negara dan menjaga kinerja pemerintah tentu menjadi hal yang lebih diutamakan ketimbang bertugas sebagai ketua umum partai.
"Apalagi jelang situasi pemilu seperti kemarin, sulit untuk ke bawah dan konsolidasi karena ada tugas negara yang diutamakan," katanya.
Yorrys mengungkapkan, partai memiliki target untuk meraih jumlah kursi lebih banyak pada Pemilu 2024 mendatang daripada target yang dipatok pada Pileg 2019 kali ini. Dia mengatakan, Golkar memasang jumlah 110 kursi pada Pileg tahun ini.
"Tentu harus lebih banyak. Kalau sama ya nggak usah jadi ketua umumlah, orang semua mau berpacukan jadi untuk ketua yang berikutnya lebih dari 110-lah," kata dia lagi.
Golkar diketahui akan menggelar musyawarah nasional (munas) pada Desember nanti. Sejumlah nama muncul memperenutkan kursi ketua umum partai semisal Menteri Perindustrian Airlangga Hartanto, Menteri Sosial Agus Gumiwang Kartasasmita, Ketua DPR RI Bambang Soesatyo, Ketua Komisi III DPR Aziz Syamsuddin dan Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Jawa Timur Zainudin Amali.