Senin 24 Jun 2019 06:03 WIB

Mengapa Trump Ingin Memiting Ayatullah Khamenei?

Hubungan Amerika dan Iran belakangan ini makin memanas.

Ikhwanul Kiram Mashuri
Foto:

Sebelum kemenangan revolusi, saat Shah Reza Pahlevi masih berkuasa, ribuan orang Amerika dan Yahudi bekerja di Iran. Mereka mendapat berbagai keistimewaan dan bahkan kekebalan diplomatik. Mereka membawa kehidupan model Barat ke Iran atau westernisasi.

Hal ini tentu tidak masalah bagi Shah dan keluarganya yang sekuler. Namun, gaya hidup seperti ini tentu saja berbenturan dengan nilai dan identitas mayoritas warga Iran yang menganut Islam Syiah.

Kondisi seperti itulah yang kemudian membangkitkan perlawanan terhadap rezim Shah Reza. Para demonstran bukan hanya melawan rezim Shah, tapi juga menyasar Kedubes AS. Mereka menganggap kedubes itu telah dijadikan sarang mata-mata Barat dan alat mengontrol Iran. Setelah Revolusi Islam Iran menang, dendam kesumat antara kedua negara terus terpendam hingga kini.

Kedua, upaya Trump terus memiting Iran sebagai bentuk membela kepentingan para sekutu utama AS di Timur Tengah. Terutama Arab Saudi dan Israel. Bagi Saudi, kemenangan Revolusi Islam Iran dianggap telah membangkitkan semangat Islam politik di Timur Tengah.

Antara lain kemenangan FIS (Front Islamique du Salut/al-Jabhah al-Islamiyah li al-Inqadh/Front Penyelamatan Islam) di Aljazair pada 1991, yang kemudian dibatalkan militer. Lalu munculnya Hamas di Palestina, gerakan Islam Hasan al-Turabi di Sudan, kemenangan AKP (Adalet ve Kalkınma Partisi/Partai Keadilan dan Pembangunan) di Turki pimpinan Presiden Erdogan.

Juga kemenangan Ikhwanul Muslimin di Mesir yang kemudian mengantarkan almarhum Muhammad Mursi menjadi presiden, sebelum digulingkan oleh militer.

Kebangkitan Islam politik ini dipandang sangat membahayakan negara-negara monarki di kawasan Teluk, terutama Arab Saudi. Itu sebabnya Saudi menganggap Ikhwanul Muslimin (IM) sebagai organisasi terlarang, menyusul keputusan rezim penguasa di Mesir yang mengecap IM sebagai teroris.

Kekhawatiran Saudi terhadap Iran juga lantaran negara ini telah menjelma sebagai kekuatan baru di Timur Tengah. Kekuatan yang dianggap bisa membahayakan kekuasaan negara-negara monarki. Apalagi Iran juga telah menebarkan pengaruhnya di Yaman (Khouthi), Lebanon (Hizbullah), Palestina (Hamas), Suriah, Irak, dan beberapa negara Arab lain. Karena itu, Saudi sangat memerlukan dukungan sekutu kuat seperti AS.

Bagi AS, dukungan itu tentu tidak gratis. Ada imbal-baliknya. Terutama ekonomi, antara lain dalam bentuk pembelian berbagai pesawat tempur, peralatan militer, dan lainnya, oleh Saudi dan negara Arab lain, yang nilainya miliaran dolar. Karena itu pula bisa dipahami bila Trump pun ‘melindungi’ Putra Mahkota Saudi Muhammad bin Salman dari tuduhan pembunuhan terhadap Jamal Khashoggi.

Di pihak lain, Israel juga menganggap Iran sebagai musuh utama sekarang ini. Bukan negara-negara Arab. Bahkan, kalau Palestina dianggap musuh, itu bukan Faksi Fatah, tapi Faksi Hamas, yang mereka pandang mewakili Islam politik yang didukung Iran.

Celakanya, Presiden Trump merupakan pendukung utama Israel, melebihi presiden-presiden AS sebelumnya. Kedubes AS pun ia pindahkan dari Tel Aviv ke Yerusalem, Golan milik Suriah ia akui sebagai bagian dari Israel, dan pembangunan pemukiman iligal Yahudi ia anggap sebagai legal.

Dengan latar belakang seperti itu, mustahil pitingan Presiden Trump terhadap Iran akan dilonggarkan, apalagi dilepas. Namun, Iran bukan negara cemen. Mereka akan bereaksi bila dicolek.

BACA JUGA: Ikuti Update Analisis Berita Aktual di Sini

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement