REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat Tata Kota Yayat Supriatna mengatakan jaringan moda transportasi publik di Jakarta belum terhubung dengan struktur tata kota. Karena itu masih banyak masyarakat yang enggan menggunakan transportasi umum.
Yayat mengatakan permukiman masyarakat semakin banyak bermunculan di Jakarta, atau yang juga disebut sebagai urban sprawl. Namun di sisi lain belum banyak yang berubah dari jaringan transportasi di Ibu Kota.
"Jaringan jalannya tetap begitu-begitu saja sehingga ketika jaringan pelayanan dibuka, orang harus jadi dua sampai tiga kali berpindah moda transportasi. Jadi betul-betul membuat orang harus keluarkan biaya dan waktu yang lebih banyak," kata Yayat saat dijumpai usai acara diskusi bertajuk Kesiapan Bus Listrik Mengaspal di Jakarta, Ahad (23/6).
Menurut dia, kesulitan masyarakat untuk beraktivitas menggunakan transportasi umum yang belum menjangkau area permukimannya kini sedikit tersiasati dengan kehadiran transportasi berbasis daring (online). Pelayanan yang mengantarkan pengguna transportasi dari satu tempat ke tempat lainnya atau door to door service membuat orang merasa dimanja. Apalagi biayanya relatif lebih murah.
"Seharusnya ada feeder (transportasi pengumpan) yang menghubungkan antara tulang punggung utamanya yaitu Transjakarta dengan angkutan umum lingkungannya," kata dia.
Yayat menyebut sistem yang telah berlaku di Surabaya dapat dijadikan contoh. Di Ibu Kota Jawa Timur itu, permukiman menjadi cluster permukiman yang didatangi oleh angkutan umum. Dengan demikian, warga cukup berjalan keluar dari lingkungan yang ditinggali dan dapat langsung menjumpai halte-halte transportasi.
Di Jakarta, menurut dia, sistem seperti itu seharusnya dapat diterapkan dan dibuat menyerupai pelayanan transportasi berbasis daring. "Jadi dia seperti menjemput, mendekati," kata Yayat.