REPUBLIKA.CO.ID, SEMARANG -- Mengantisipasi musim kemarau yang selalu berdampak pada produktivitas pertanian, Pemerintah Desa (Pemdes) Kawengen, Kecamatan Ungaran Timur, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, berkeinginan mengoptimalkan lahan tadah hujan untuk tanaman hortikultura.
Namun keinginan tersebut belum dapat terlaksana, karena para petani di desa ini masih belum mau meninggalkan pola pertanian tanaman pangan. Sehingga, problem gagal panen dan puso sudah menjadi persoalan yang selalu terjadi setiap tahun, pada saat musim kemarau.
“Masih sulit untuk mengubah mindset para petani untuk mau meninggalkan tanaman pangan ke tanaman hortikultura,” ungkap Kepala Desa (Kades) Kawengen, Marjani yang dikonfirmasi.
Ia menjelaskan, secara umum luas wilayah Desa Kawengen mencapai 1.047,91 hektare, yang terbagi atas lahan tadah hujan mencapai 113,60 hektare, luas tanah pekarangan dan bangunan 275,26 hektare, lahan kering (tegalan) 281,28 hektare, dan lahan kebun/hutan negara 271,25 hektare.
Sisanya sebanyak 6,5 hektare merupakan jalan, makam, sungai dan lainnya. Khusus untuk lahan kering jamak dibudidayakan warga untuk berbagai tanaman keras.
Sedangkan lahan tadah hujan yang mencapai luasan 113,60 hektare dioptimalkan untuk lahan pertanian tanaman pangan, khususnya tanaman padi. “Namun karena tadah hujan, lahan tersebut dalam setahun hanya mampu ditanami sekali, pada saat musim hujan,” katanya.
Kalaupun ada petani yang mencoba untuk menanam dua kali dalam setahun, pada akhirnya hasilnya tidak bisa maksimal dan bahkan sering gagal panen karena tanaman padi tersebut kekurangan air.
Selain lahan tadah hujan, permasalahan pertanian yang ada di Desa Kawengen adalah kontur wilayah desa yang berbukit dan tidak dialiri oleh sungai besar. Sementara sumber air yang bisa dimanfaatkan pada saat musim kemarau pun terbatas.
“Jangankan untuk pertanian, sumber air bersih yang bisa dimanfaatkan oleh warga saat musim kemarau saja juga terbatas,” jelasnya.
Marjani juga menyampaikan, untuk program jangka panjang, dalam mengatasi problem pertanian di musim kemarau ini, Pemdes Kawengen sebenarnya sudah menggagas pemanfaatan lahan untuk tanaman hortikultura.
Karena untuk budi daya sejumlah tanaman hortikultura seperti ace (rambutan), jambu air, dan beberapa jenis buah-buahan lahan di desanya sangat cocok. Sehingga warga tidak lagi menggantungkan pada hasil tanaman pertanian.
Sebab jika tanaman hortikultura ini hasilnya lebih bagus, pada saatnya juga memiliki nilai tukar untuk bahan pangan. “Masalahnya ya itu tadi, masih sulit untuk merubah pola pikir para petani kami,” ujarnya.
Selain itu, untuk mewujudkan rencana jangka panjang tersebut juga butuh goodwill dari Pemerintah kabupaten (Pemkab) Semarang atau pihak ketiga yang mau membantu menyiapkan infrastrukturnya.
Baik bibit, pendampingan kepada para petani, maupun infrastruktur pendukung, khususnya untuk menyiapkan cadangan air bagi pengembangan tanaman hortikultura tersebut.
Ia juga mengaku, di wilayah desanya sebenarnya juga sudah dibangunkan embung, tetapi fungsinya juga tidak bisa maksimal. Karena tidak ada air yang bisa ditampung dan kapasitasnya tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan seluruh lahan pertanian.
Sehingga, infrastruktur tersebut hingga kini dibiarkan mengering dan sudah tidak bisa berfungsi lagi. “Sampai sekarang, embung tersebut juga mangkrak dan tidak bisa dimanfaatkan lagi,” tambahnya.
Sementara itu, Asroni (56), salah seorang petani asal Dusun Gendurit mengaku, mayoritas pertanian yang ada di wilayah Desa Kawengen ini merupakan usaha pertanian turun-temurun.
Ia sendiri bersama dengan adiknya, Sundarti (51), juga meneruskan menggarap sawah yang sebelumnya juga dibudidayakan oleh orang tuanya. Selama ini, memang tanaman padi yang paling diminati petani.
Karena benihnya gampang, pupuknya disubsidi dan juga mudah didapatkan serta hasilnya selain bisa dijual juga bisa digunakan untuk keperluan sendiri. “Makanya petani di sini belum bisa melirik tanaman lain selain padi,” jelasnya.