Rabu 19 Jun 2019 12:58 WIB

Jokowi-Khofifah Bicara MRT, LRT, dan Commuter Line Surabaya

Pengembangan moda transportasi di Kota Surabaya dan sekitarnya sudah diatur

Rep: Sapto Andika Candra/ Red: Esthi Maharani
Khofifah Indar Parawansa
Foto: dok. Republika
Khofifah Indar Parawansa

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kawasan metropolitan Kota Surabaya di Jawa Timur dianggap membutuhkan integrasi moda transportasi yang mampu menghubungkan wilayah ini dengan daerah sekitarnya. Demi membahas hal ini, Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa mendatangi Istana Merdeka untuk bisa berkonsultasi dengan Presiden Joko Widodo (Jokowi), Selasa (18/6) kemarin. Sejumlah opsi pun disampaikan Khofifah kepada Presiden, termasuk rencana pembangunan Moda Raya Terpadu (MRT), Lintas Rel Terpadu (LRT), atau pengembangan commuter line yang sudah ada saat ini.

Lantas mana yang paling memungkinkan dan paling mendesak untuk dibangun?

Khofifah menjelaskan, pengembangan moda transportasi di Kota Surabaya dan sekitarnya sudah diatur dalam Rancangan Peraturan Presiden (Ranperpres) kawasan Gerbang Kertosusila (Gresik-Bangkalan-Mojokerto-Surabaya-Sidoarjo-Lamongan). Mantan Menteri Sosial ini menyebutkan, dalam lingkup 100 kilometer (km) dari pusat kota Surabaya akan menjelma menjadi kawasan megapolitan dalam beberapa tahun mendatang. Berkaca dari DKI Jakarta, Surabaya akan membutuhkan infrastruktur transportasi yang memadai.

"Kita bisa bayangkan kayak apa padatnya public transportation dan itu akan menjadikan high cost apakah pada lalu lintas barang dan jasa atau lalu lintas publik," kata Khofifah usai menemui Presiden Jokowi, Selasa (18/6).

Dari ketiga opsi moda transportasi yang dibicarakan, yakni MRT, LRT, dan commuter, Presieden Jokowi kemudian menyampaikan pandangannya. Dari sisi pembiayaan, ujar Khofifah, pembangunan MRT memakan dana paling mahal di antara moda transportasi lain yakni sekitar Rp 1,2 triliun per km. Sementara LRT butuh biaya Rp 426 miliar per km. Paling murah tentu pengembangan commuter line yang sebetulnya saat ini sudah terbangun.

Dari sisi biaya, ujar Khofifah, pengembangan commuter line adalah opsi yang paling memungkinkan dan bisa dilakukan secepatnya. Apalagi jalurnya sudah ada dan tinggal dilakukan penyambungan antara jalur utara dan selatan. Pemprov Jatim dan PT KAI juga akan mengaktifkan kembali sejumlah jalur mati dan memperbaiki stasiun yang selama ini sempat terbengkalai. Selain itu, pemerintah akan menambah jumlah gerbong commuter yang akan dipesan dari PT INKA.

"Kami sudah memiliki beberapa opsi untuk tambahan gerbong karena ada survei kecil terkait padatnya penumpang di commuter. Jadi untuk gerbong kata Pak Presiden sudah psan saja di INKA," kata Khofifah.

Sejumlah stasiun yang akan dihidupkan kembali, salah satunya adalah Stasiun Gresik yang saat ini bangunannya 'tersamarkan' oleh padatnya pemukiman pendudukan. Khofifah mengaku sudah berkoordinasi dengan Pemkab Gresik untuk memperbaiki fasilitas yang sudah dibangun sejak masa kolonial Belanda tersebut.

"Kemudian Babat-Jombang itu sudah ada relnya, tetapi selama ini tidak difungsikan. Kami sudah mengkomunikasikan jadi nanti itu akan terkoneksi," kata Khofifah.

Dengan tersambungnya jalur Babat-Jombang, maka jalur lintas utara dan selatan via Surabaya akan ikut terhubung. Selama ini, perjalanan kereta api jalur utara dilayani di Stasiun Pasar Turi sementara jalur selatan dilayani di Stasiun Gubeng. Nantinya, ujar Khofifah, perjalanan kereta lintas utara dan selatan akan tersambung.

"Jalur utara bisa nyambung ke selatan, jadi terusan gitu lho. Jadi dia dari Surabaya, kemudian Gresik, Lamongan sampai Babat, langsung Jombang, Mojokerto, nanti Krian, Surabaya nyambung semua," ujar Khofifah.

Reaktivasi jalur kereta api ini nantinya akan dikerjakan bersama PT KAI. Ditargetkan, rencana penambahan gerbong dan perpanjangan jalur commuter line ini bisa rampung pada 2020 nanti.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement