REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto enggan mempersoalkan pernyataan Presiden Joko Widodo yang memberi sinyal akan memberikan kursi menteri bagi aktivis 1998 di kabinet periode mendatang. Wiranto menegaskan, kewenangan untuk mengangkat maupun memberhentikan jabatan menteri adalah hak prerogratif Presiden Jokowi.
"Itu sepenuhnya hak perogratif presiden, nggak usah diributkan, masih lama Oktober," ujar Wiranto di Kantor Kemenko Polhukam, Jakarta, Senin (17/6).
Wiranto meyakini Presiden Jokowi memiliki pertimbangan-pertimbangan untuk mengisi menteri dalam kabinetnya. Karena itu, ia mempercayakan kepada Jokowi sendiri untuk memilih menteri yang akan membantunya dalam menjalankan tugas Pemerintahan.
"Tergantung presiden bagaimana beliau sudah punya pertimbangan-pertimbangan dan saya kira beliau sudahh punya satu rencana jadi nggak usah diributkan dan nggak perlu diintervensi oleh siapapun dan masyarakat," kata Wiranto.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) memberi sinyal untuk mengisi jabatan menteri di kabinetnya nanti dari kalangan aktivis 1998. Pernyataan Jokowi ini disampaikan saat menghadiri acara rembuk nasional aktivis 1998 di Hotel Sahid Jakarta, Ahad (16/6).
Jokowi memandang, tak sedikit mantan aktivis reformasi yang kini sudah menduduki jabatan penting baik di pemerintahan, parlemen, hingga perusahaan. Namun, lanjutnya, kalangan aktivis '98 belum ada yang mengisi posisi menteri.
"Bisa saja, kenapa tidak dengan kemampuan yang ada. Misalnya tidak hanya di menteri, bisa saja di duta besar. Bisa saja di BUMN tetapi selagi saya selalu melihat bahwa yang bersangkutan memiliki kapasitas dan syarat yang sering saya sampaikan," jelas Presiden Jokowi di hadapan hadirin, Ahad (16/6).
Meski menolak untuk menyebut nama atau inisial kandidat kuat dari kalangan aktivis '98, Jokowi menegaskan posisi menteri harus diisi oleh pemimpin yang memiliki karakter kuat dalam mengeksekusi kebijakan. Presiden juga berpesan agar para mantan aktivis '98 mau mengambil peran dalam pembangunan.
Caranya, ujar Jokowi, bisa dengan memberikan evaluasi dan koreksi terhadap langkah dan kebijakan yang dilakukan pemerintah. Jokowi merasa tidak keberatan untuk dikritik karena ia mengaku tidak memiliki beban dalam memimpin pemerintahan lima tahun ke depan.
"Jadi keputusan-keputusan yang bila, keputusan yang miring-miring, yang itu penting untuk negara ini, akan kita kerjakan. Lagi karena saya sudah tidak memiliki beban apa-apa," katanya.