Senin 10 Jun 2019 23:14 WIB

Aktivitas Masyarakat Picu Kualitas Udara Jakarta tak Membaik

Kementerian LHK meyakini aktivitas masyarakat picu kualitas udara Jakarta tak membaik

Kualitas Udara Jakarta. Warga melintas di dekat papan Indeks Standar Pencemaran Udara (IPSU) di Kawasan Gelora Bung Karno, Jakata, Kamis (14/3).
Foto: Republika/Prayogi
Kualitas Udara Jakarta. Warga melintas di dekat papan Indeks Standar Pencemaran Udara (IPSU) di Kawasan Gelora Bung Karno, Jakata, Kamis (14/3).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Meski terkesan kosong namun aktivitas masyarakat yang tinggi justru diduga menjadi pemicu kualitas udara DKI Jakarta tidak membaik saat Lebaran. Direktur Pengendalian Pencemaran Udara Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Dasrul Chaniago di Jakarta, Senin, mengatakan sudah empat tahun terakhir mengamati fenomena ini, sehingga cukup hafal, dibuat per jam, maka grafik konsentrasi partikulat (PM10) dan (PM2.5) akan tinggi terlihat pascashalat Ied.

"Turun setelah siang atau sorenya," tambah dia. Grafik konsentrasi PM2.5 atau partikel udara berukuran lebih kecil dari 2,5 mikron (mikrometer) dari hasil Air Quality Monitoring System (AQMS ) yang dimiliki KLHK, pada Senin (3/6), mencapai 44,7 mikrogram per meter kubik (μg/m3).

Baca Juga

Sedangkan pada Selasa (4/6), mencapai 70,8 μg/m3. Angka tersebut ada di atas bakumutu PM2.5 yang ditetapkan pemerintah berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 41 Tahun 1999, yakni sebesar 65 μg/m3.

Terkait angka tersebut naik saat malam takbiran, Dasrul enggan menjawab, karena isu tersebut kini menjadi terlalu sensitif. "Bisa dijawab sendiri ini. Kira-kira bagaimana kondisi jalan ketika malam takbiran?" lanjutnya.

Pada Rabu (5/6), atau H1, grafik konsentrasi PM2.5 ada diangka 37,5 μg/m3. Kondisi tersebut terus menurun pada Kamis (6/6) yang mencapai 27,2 μg/m3, sedangkan pada Jumat (7/6) menjadi 26,6 μg/m3.

Sedangkan berdasarkan grafik konsentrasi PM2.5 dari AQMS Kedubes AS di Jakarta Pusat terpantau pada Sabtu (8/6), kembali meningkat menjadi 32,71 μg/m3. Dan pada Ahad (9/6) kembali meningkat menjadi 38,27 μg/m3.

Saat ditanya faktor lain yang menjadi penyumbang konsentrasi PM2.5 di DKI Jakarta selain transportasi, Dasrul hanya mengatakan tipikal kota besar, metropolitan atau megapolitan, 68 hingga 70 persen polutan dari sumber bergerak. Sedangkan 30 persen tentu dari sumber lain.

Ia lantas mengatakan bahwa sebenarnya polusi udara tidak berkurang, hanya berpindah. Bahkan kecenderungannya konsumsi bahan bakar justru meningkat saat hari raya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement