Senin 10 Jun 2019 21:55 WIB

Isu Pembubaran Koalisi, Dedi Mulyadi: Demokrat Mulai Bingung

Dedi Mulyadi, menilai Partai Demokrat mulai bingung dengan dirinya sendiri.

Rep: Ita Nina Winarsih/ Red: Andi Nur Aminah
Ketua DPD Golkar Jabar, Dedi Mulyadi.
Foto: Republika/Ita Nina Winarsih
Ketua DPD Golkar Jabar, Dedi Mulyadi.

REPUBLIKA.CO.ID, PURWAKARTA -- Ketua Tim Kampanye Daerah Jokowi-Ma'ruf Amin Jawa Barat, Dedi Mulyadi, menilai Partai Demokrat mulai bingung dengan dirinya sendiri. Pasalnya, pengurus partai berlambang bintang mercy tersebut, mengusulkan pembubaran koalisi baik di kubu Jokowi maupun Prabowo.

"Isu pembubaran koalisi tersebut, merupakan kebingungan dari sebuah partai politik dalam membangun identitas dirinya. Siapa dia dan berada di mana, jelas sekali bingungnya," ujar Dedi, kepada Republika.co.id, Senin (10/6).

Baca Juga

Dedi menuturkan, permanen atau tidaknya koalisi itu tergantung kepentingan para pihak. Dulu, lanjutnya, pada zaman pemerintahan SBY, koalisi bersifat permanen. Yaitu, ada partai oposisi yang berada di luar pemerintah dan ada partai pendukung pemerintah. Kemudian, ada partai yang diajak masuk koalisi.

Ketika SBY memimpin, sambung Dedi, Golkar sebelumnya di luar pemerintah. Namun, karena ada kepentingan dari pemerintah untuk memperkuat jajaran pemerintahan, maka Golkar masuk ke koalisi pemerintahan.

Proses masuknya Golkar ke koalisi pemerintahan tentunya cukup panjang. Yaitu melalui perebutan kepemimpinan Partai Golkar dari Akbar Tanjung ke Jusuf Kalla yang waktu itu menjadi Wakil Presiden.

Kemudian, pada tahap kedua pemerintahan SBY, Golkar kembali masuk ke lingkungan kekuasaan melalui perubahan kepemimpinan di tubuh partai. Yakni dari Jusuf Kalla digeser ke Aburizal Bakrie yang nota bene mitra dari SBY dalam pemerintah. "Jadi, proses masuknya Golkar saat itu dikehendaki oleh kekuasaan melalui perubahan kepemimpinan kepartaian," ujarnya.

Kemudian, pada saat ini ada koalisi dalam pemerintahan yang relatif sudah 60 persen menguasai parlemen. Lalu ada partai yang bersikap oposisi, yaitu Gerindra dan PKS, dan itu sah dari sisi konstitusi.

Dalam tradisi politik di Indonesia, partai oposisi sah karena harus ada penyeimbang dalam pemerintahan. Saat ini, sambungnya, ada partai dari oposisi, yakni Demokrat, yang ingin merapat ke pemintahan. Dedi menilai itu sah dan dipersilakan.

"Demokrat ingin masuk ke koalisi pemerintahan, ya dipersilakan. Tetapi tidak berarti koalisi harus dibubarkan. Kalau ingin bubarkan koalisi, Demokrat sepertinya sedang panik. Ya, jangan panik dong," tegas Dedi.

Meski demikian, Dedi mengingatkan bahwa koalisi itu ibarat membangun rumah tangga. Siapa pun kalau ingin membangun rumah tangga baru, pasti ingin punya istri setia dan tidak meninggalkan suami dalam keadaan sulit.

Begitu pula dengan koalisi partai politik. Jangan sampai ada dusta, di antara sesama partai yang berkoalisi. Terkait pembubaran koalisi itu untuk mencegah perpecahan di masyarakat, Dedi menilai sebenarnya hal itu sebenarnya tidak terjadi.

Saat ini, yang terjadi adalah adanya kubu capres 02, tidak menerima kekalahan dan saat ini masih berproses di tingkatan Mahkamah Konstitusi (MK). Dengan kata lain, saat ini yang ada pasangan yang sudah menang melalui pemilu. Serta, ada juga yang bersikukuh belum merasa kalah.

"Sehingga, kondisi terkini itu komposisi di dua kubu pun bisa berubah. Partai oposisi bisa saja pindah ke koalisi dan sebaliknya. Dengan begitu, koalisi tak perlu bubar," jelas mantan Bupati Purwakarta ini.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement