Sabtu 08 Jun 2019 06:19 WIB

LBH Bakal Layangkan Gugatan

Pemprov klaim telah miliki data sumber-sumber utama polusi udara.

Rep: Mimi Kartika/ Red: Bilal Ramadhan
Polusi udara kota DKI Jakarta.
Foto: Republika/Aditya Pradana Putra
Polusi udara kota DKI Jakarta.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) bersama Koalisi Ibukota telah membuka pos pengaduan calon penggugat. Guna mengajukan gugatan terkait pencemaran udara Jakarta.

Hasilnya, ada 37 calon penggugat selama pos dibuka pada 14 April-14 Mei 2019. Mereka warga yang merasa dirugikan akibat buruknya udara Ibu Kota. Akan tetapi, menurut pengacara publik LBH Jakarta Ayu Eza Tiara, pihaknya harus melakukan verifikasi terhadap para calon penggugat tersebut.

"Kita buka satu bulan ternyata sudah ada 37 yang mau menggugat pemerintah, tapi memang kita verifikasi lagi dong. Kita enggak mungkin sembarangan, ini orang harus punya legal standing segala macam," kata Ayu saat dihubungi Republika, Jumat (7/6).

Ayu mengatakan, gugatan akan dilayangkan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada bulan ini. Ia mengaku, LBH Jakarta telah melakukan riset dan kajian selama satu tahun terkait pencemaran udara di Ibu Kota ini bersama para aktivis dan organisasi non-pemerintah (NGO) yang fokus terhadap hal ini.

Ia menyebutkan, diantaranya bekerja sama dengan Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jakarta, Greenpeace, dan lembaga lainnya. Ayu menjelaskan, gugatan ini dilakukan karena tak ada upaya yang efektif dari pemerintah menyelesaikan permasalahan pencemaran udara.

Ia mengatakan, melalui kesepakatan bersama, pihak tergugat antara lain Presiden Republik Indonesia terkait dengan peraturan pemerintah. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) serta Kementerian Kesehatan terkait koordinasi upaya yang harus efektif.

"Selama ini kementerian-kementerian kita kerjanya sektoral, artinya tidak efektif," kata Ayu.

Selain itu, gugatan juga dihadapkan pada pemerintah provinsi (Pemprov) dalam hal ini Gubernur Jawa Barat, Gubernur Banten, dan Gubernur DKI Jakarta. Sebab, kata dia, kota-kota di sekitar Jakarta turut mengundang pencemaran udara seperti Bekasi, Bogor, dan Tangerang.

"Karena udara kan, nyatanya udara itu bergerak lintas batas, kita pernah melalukan kajian polusi yang ada di Banten saja itu bisa tersebar sampai ke Lampung," lanjutnya.

Ayu mengatakan, menurut ahli seharusnya ada alat pengukur kualitas udara dengan minimal 66 alat. Sebab, banyak jenis polusi udara seperti partikulat matter (PM) berbagai ukuran debu dari PM10, sampai yang kecil mematikan PM2,5, juga karbondioksida. Parameter pencemaran udara menurut Peraturan Pemerintah (PP) ada 13 macam.

Sementara di DKI hanya tersedia lima alat saja. Untuk itu, Ayu mengatakan, dengan anggaran besar yang dimilikinya, Pemprov DKI harus menyediakan alat itu. Sebab, pemerintah seharusnya melakukan upaya-upaya efektif.

Sementara itu, Gubernur DKI Jakarta Anies Rasyid Baswedan menyebut salah satu penyumbang terbesar polusi udara di Ibu Kota ialah pembangkit listrik tenaga batu bara. Ia mengatakan, Pemprov DKI telah memiliki data sumber-sumber utama polusi udara dan akan mengumumkan temuannya setelah libur Lebaran 2019.

"Nanti gini saya akan presentasikan khusus karena komponen polusi Jakarta bukan hanya kendaraan bermotor tapi yang juga yang besar adalah pusat listrik tenaga batu bara itu," ujar Anies di Makam Wakaf Muslim, Cilandak Barat, Jakarta Selatan, Kamis (6/6).

Namun, Anies tidak merinci data apa yang sudah dimiliki Pemprov. Ia menekankan, pihaknya telah serius menangani perubahan iklim yang bisa berpotensi mendatangkan bencana.

Menurut dia, kerusakan alam yang terjadi saat ini bukanlah perubahan iklim (climate change) melainkan krisis iklim (climate crisis). "Jadi kita mengalami climate crisis," lanjut Anies.

Anies pun mengajak semua pihak untuk mengubah perilaku yang ramah lingkungan sehingg udara Ibu Kota menjadi bersih. Sebab, kata dia, kerusakan iklim bukan hanya tanggung jawab pemerintah tapi juga masyarakat dan perusahaan swasta.

Anies menyebutkan contoh bahwa ada 17 juta kendaraan roda empat di Jakarta. Sementara jumlah kendaraan dinas milik pemerintah hanya 141 ribu. "Jadi kalau pemerintah saja yang koreksi tidak cukup, yang paling besar justru komponen rumah tangga dan swasta," kata dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement