Rabu 29 May 2019 23:22 WIB

BNPT: Serangan Teroris Siber Berpotensi Terjadi

Ancaman penyerangan terjadi terhadap sistem digital informasi milik pemerintah.

Rep: Rizky Suryarandika/ Red: Andri Saubani
[ilustrasi] Karopenmas Divhumas Polri Brigjen Pol Dedi Prasetyo (kiri) didampingi Wadir Tipidsiber Bareskrim Polri Kombes Pol Asep Safrudin (kanan) menyampaikan keterangan pers terkait perkembangan terkini kasus penyebaran ujaran kebencian dan berita bohong (hoaks) di Kantor Kemenkopolhukam, Jakarta, Selasa (28/5/2019).
Foto: Antara/Indrianto Eko Suwarso
[ilustrasi] Karopenmas Divhumas Polri Brigjen Pol Dedi Prasetyo (kiri) didampingi Wadir Tipidsiber Bareskrim Polri Kombes Pol Asep Safrudin (kanan) menyampaikan keterangan pers terkait perkembangan terkini kasus penyebaran ujaran kebencian dan berita bohong (hoaks) di Kantor Kemenkopolhukam, Jakarta, Selasa (28/5/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) mendapati kelompok radikal di Indonesia ada yang bisa menggunakan teknologi digital dengan mahir. BNPT mengakui, adanya ancaman penyerangan terhadap sistem digital informasi milik pemerintah.

Kepala Subdirektorat Kontrapropaganda BNPT Kolonel Sujatmiko mengklarifikasi kelompok radikal dengan keahlian di bidang teknologi memang sudah eksis, tapi belum beroperasi maksimal. "Ada beberapa kelompok tertentu yang memiliki kemampuan sampai ke situ (serangan digital). Tapi upaya-upaya mereka sejauh ini masih dalam tahap perencanaan persiapan," katanya usai kegiatan diskusi di Jakarta pada Rabu (29/5).

Walau begitu, ia memastikan BNPT terus memantau seluruh kelompok radikal. Sehingga, bila nantinya ada serangan akan bisa diketahui asal kelompok penyerangnya.

"Kalau kita sebut, itu potensi (serangan). Itu sangat tidak menutup kemungkinan akan terjadi di kemudian hari," ujarnya.

BNPT mengklaim informasi soal kelompok radikal berkeahlian siber diperoleh secara akurat. Sumber informasi BNPT ialah jaringan radikal dan teroris se-Nusantara yang  disampaikan lewat media sosial Telegram.

"Kita nilai dari ajaran mereka di Telegram ketika belum diblokir. Bisa kita lihat mereka memiliki sumber daya dan kemampuan itu. Walau pun kita tidak bisa menilai bahwa semua kelompok bisa begitu. Tapi kami yakin auktor intelektualisnya jalan," ucapnya.

Keahlian di bidang digital juga dimanfaatkan kelompok radikal guna menyebarkan paham mereka. Contohnya film dan meme yang dianggap punya kualitas setara dengan produksi perusahaan iklan profesional. Propaganda lewat digital informasi itu nantinya ditambah dengan propaganda tradisional berupa pertemuan tatap muka.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement