Kamis 06 Jun 2019 00:46 WIB

Mengintip Produksi Kopi Cigalontang di Kampung Kiara Bongkok

Tak hanya untuk Tasikmalaya, kopi cigalontang juga dipasarkan ke kota-kota besar.

Rep: Bayu Adji/ Red: Friska Yolanda
Produksi Kopi Cigalontang di Kampung Kiara Bongkok.
Foto: Republika/Bayu Adji P
Produksi Kopi Cigalontang di Kampung Kiara Bongkok.

REPUBLIKA.CO.ID, Puluhan pekerja yang tergabung dalam Kelompok Tani Pusparahayu terlihat sibuk melakukan tugasnya masing-masing di rumah yang menjadi sekretariat kelompok itu. Ada yang memilah biji kopi, sebagian lainnya ada yang melakukan pemanggangan (roasting) biji kopi untuk mendapatkan biji kopi yang berkualitas.

Aroma biji kopi memang sangat santer tercium ketika memasuki salah satu rumah di Kampung Kiara Bongkok, Desa Puspa Mukti, Kecamatan Cigalontang, Kabupaten Tasikmalaya, itu. Pasalnya, di rumah itulah kopi cigalontang diproses dan dikemasi untuk diedarkan ke pasaran.

Tidak ada kode iklan yang tersedia.

Bukan hanya untuk mengisi pasar Tasikmalaya, kopi cigalontang juga sudah mulai dipasarkan juga ke kota-kota besar seperti Bandung dan Jakarta. Bahkan, kopi yang berasal dari Kampung Kiara Bongkok itu sudah mulai merambah pasar internasional, meski ekspornya masih berbarengan dengan kopi malabar.

Ketua Kepompok Tani Pusparahayu, Apong (54 tahun) mengatakan, para petani di Kampung Kiara Bongkok baru fokus menanam kopi sejak 2012. Pada awalnya, para petani hanya menanam kopi seadanya di lahan sekitar 8 hektare. Produksinya pun masih sederhana, karena petani awalnya hanya menjual buah ceri kopi ke pasaran.

Ia mengakui, pada awal para petani menanam kopi memang tak diiringi pengetahuan yang cukup. Pasalnya, sebelumnya para petani di wilayah itu umumnya menanam tanaman hortikultura seperti cabai.

Apong mengisahkan, pada 2012 para petani mulai beralih, lantaran harga cabai terus anjlok di pasaran. Kopi menjadi pilihan karena saat itu industri kopi di Indonesia mulai kembali menggeliat.

Ketika itu, para petani hanya menanam kopi seadanya. Produksinya pun masih sangat minimalis. Mereka tak menjual kopi dalam bentuk biji, apalagi bubuk. Pada awal menggarap tanaman kopi, para petani hanya bisa menjual buah ceri kopi yang harganya sangat murah.

photo
Produksi Kopi Cigalontang di Kampung Kiara Bongkok

Namun, lambat laun sistem produksi kopi mulai diperbaiki. Petani kopi mulai belajar mengolah buah ceri kopi menjadi gabah, selanjutnya menjadi biji kopi yang telah di-roasting, bahkan menggiiling biji kopi menjadi bubuk.

Apong mengatakan, harga jual kopi ketika masih berbentuk buah ceri dengan bubuk kopi sangat jauh berbeda. Jika satu kilogram buah ceri kopi hanya dihargai Rp 6.500, bubuk kopi cigalontang bisa dihargai Rp 300 ribu per kilogram. Karena itu, saat ini Kelompok Tani Pusparahayu hanya menjual biji kopi atau bubuk kopinya langsung ke pasaran.

"Awalnya kita jual ceri hanya Rp 6.000 per kilogram, lalu gabah Rp 24 ribu, green bean Rp 130 ribu, sekarang bubuk 300 ribu per kilo," kata dia saat dikunjungi di lokasi produksi kopi cigalontang, Jumat (24/5).

Republika.co.id juga berkesempatan melihat proses penggilingan buah ceri kopi untuk menjadi gabah di ruangan khusus yang berjarak sekitar 50 meter dari sekretariat Kepompok Tani Pusparayahu. Para petani di tempat itu memasukkan buah ceri ke dalam mesin penggiling untuk mendapatkan gabah kopi.

Setelah menjadi gabah, kopi harus dijemur terlebih dahulu di ruang jemur sekitar 5-10 hari, sebelum akhirnya digiling kembali untuk dijadikan biji kopi. Setelah itu, biji kopi akan di-roasting dan digiling (grinder) untuk menjadi bubuk.

Ia meyakini, rasa kopi cigalontang tak kalah dengan kopi lainnya yang ada di seantero Nusantara. Pasalnya, lahan kopi yang ada di Kampung Kiara Bongkok mengandung abu vulkanis Gunung Galunggung. Hal itu, lanjut dia, yang membuat rasa kopi cigalontang berbeda dengan kopi lainnya.

"Kopi ini enak karena faktor tanah, pengolahannya, dan ketinggian di atas 1.000 meter. Kata orang kopi arabika ini rasanya nendang," kata dia.

Perkembangan pesat para petani kopi dalam Kelompok Tani Pusparahayu itu tak datang dengan sendirinya. Mereka menjadi binaan Kantor Perwakilan Bank Indonesia (BI) Tasikmalaya. Setidaknya, bantuan yang diberikan itu berupa mesin penggiling, rumah jemur, pembabat rumput, biopori, rumah penjemur, dan mesin roasting.

Kepala Kantor Perwakilan BI Tasikmalaya Heru Saptaji mengatakan, kaster kopi cigalontang dikembangkan sejak Agustus 2018. Belum satu tahun berjalan, para petani awalnya hanya bisa menjual buah ceri kopi, saat ini telah mampu memriduksi bubuk kopi sendiri.

photo
Produksi Kopi Cigalontang di Kampung Kiara Bongkok

"Ketika pertama ke sana, para petani masih memanen dengan serentak, kopi tidak dipilih lagi. Mereka sangat awam. Kita akan lakukan pendampingan selama tiga tahun," kata dia.

Menurut dia, kopi cigalontang merupakan salah satu jenis yang memiliki kualitas premium. Namun, kualitas pengolahannya juga harus dijaga.

Ia mengatakan, jika pengolahan kopi dibiarkan seadanya, kualitas premium yang ada tak akan menghasilkan nilai tambah bagi para petani. Karena itu, kemampuan petani harus ditingkatkan untuk dapat menghasilkan kopi yang berkualitas.

Heru menyebut, potensi kopi cigalontang sangatlah besar. Apalagi di daerah itu terdapat lahan yang luas yang belum digarap.

"Awalnya mereka hanya menanam di lahan delapan hektare, kami kembangkan di areal 80 hektare. Sekarang sudah mencapai 250 hektare. Satu hektar itu berpotensi menghasilkan 10 ton sekali panen," kata dia.

Menurut dia, pembinaan yang akan dilakukan oleh BI akan terbagi menjadi tiga tahap. Pada tahun pertama, para petani akan dibina untuk meningkatkan produktivitas kopi dan penguatan kelembagaan kelompok. Tahun kedua, BI akan membina petani agar mampu menangkap peluang pasar yang lebih besar, sekaligus mengembangkan akses pembiayaan. 

Terakhir, lanjut dia, hilirisasi produk kopi untuk mampu menembus pasar yang lebih luas. Bahkan, petani juga akan dibina memasarkan produknya melalui pasar digital. "Bukan tidak mungkin kopi ini kita pasarkan melalui pendekatan digitalisasi," kata dia.

Heru mengatakan, program pembinaan klaster kopi itu bertujuan untuk menggali potensi yang ada di Kabupaten Tasikmalaya, khususnya untuk para petani kopi. Dengan meningkatkan kualitas kopi yang dihasilkan, harga kopi pun akan meningkat.

"Jadi nilai tambah itu akan sangat bergantung dari proses awal hingga akhir itu," kata dia.

Heru juga berencana untuk mengekspor produk kopi cigalontang. Menurut dia, seluruh Kantor Perwakilan BI di Jawa Barat telah bersepakat untuk menyalurkan peluang ekspor melalui Bandung.

"Doakan ini cepat diekspor. Kalau saat ini sudah berjalan berbarengan kopi malabar, ke Korea. Karena varietasnya sama," kata dia.

Meski begitu, fokus BI saat ini adalah untuk mengubah pola pikir petani terlebih dahulu. Para petani diharapkan dapat konsisten menjaga kualitas kopi dan lebih terbuka dengan inovasi.

Untuk ekspor, kata dia, kalau tak dipersiapkan dengan baik, hasilnya tak akan bertahan lama. Karena itu, yang saat ini dibutuhkan adalah kedisiplinan para petani untuk menjaga kualitas dengan konsisten.

"Kita mau ubah mindset petani kopi terlebih dahulu, agar mereka bisa mandiri," kata dia.

Selain di Kabupaten Tasikmalaya, Kantor Perwakilan BI juga berencana mengembangkan klaster kopi di Desa Purbarayahu, Kecamatan Sidamuli, Kabupaten Pangandaran. Menurut Heru, lokasi itu dipilih karena Kabupaten Pangandaran merupakan salah satu destinasi wisata yang sedang dikembangkan pemerintah.

"Di sana arahnya juga menjadi destinasi wisata. Kopi itu juga udentik dengan wisata. Jadi akan menghasilkan simbiosis mutualisme antara wisata dan produk lokal," kata dia.

Advertisement
Berita Terkait
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement