Jumat 24 May 2019 10:38 WIB

Bisakah Kita Puasa Medsos?

Tanpa literasi medsos yang baik, masyarakat hanya memindahkan lapak berbagi hoaks

Dwi Murdaningsih
Foto: Republika/Kurnia Fakhrini
Dwi Murdaningsih

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Dwi Murdaningsih*

Pada Rabu (22/5) siang. Entah mengapa akes Whatsapp menjadi sulit mengirimkan foto. Dari linimasa twitter, sebuah kabar beredar bahwa Instagram juga sedang down.

Belakangan pada sore hari, pemerintah menginformasi akses sosial media memang dibatasi. Pembatasan akses ini berkaitan dengan banyaknya berita hoaks yang tersebar melalui sosial media. Hal ini berkaitan dengan aksi demonstrasi di institusi penyelenggara pemilu yang terjadi sejak Selasa (21/5).

Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam), Wiranto menyatakan aktivitas di media sosial dibatasi untuk menghindari hal-hal negatif yang tidak diinginkan. Wiranto menyebut adanya upaya adu domba dalam masyarakat melalui kabar bohong di medsos.

Bukan rahasia, di instagram kerap beredar berita-berita provokatif yang kadang menyesatkan. Begitu pula di Whatsapp yang seringkali di grup-grup muncul pesan tidak terverifikasi yang seringnya hoaks dan meresahkan. Di facebook? Hmm, barangkali media sosial ini yang paling banyak menyebarkan hoaks.

Menkominfo Rudiantara belum lama ini mengatakan, paling banyak hoaks yang ditemukan yakni dari media sosial Facebook dan juga Instagram. Sementara di sisi lain, instagram dan facebook bisa jadi merupakan media sosial yang paling sering dibuka ketika warganet memiliki waktu senggang. Twitter sejauh ini menurut pengamatan penulis masih aman-aman saja.

Soal hoaks atau tidak dari konten yang netizen lihat memang tergantung dari siapa orang yang diikuti, atau berteman dengan siapa. Namun, secara teknis, di Instagram dan Facebook cenderung lebih banyak ditemukan informasi hoaks. Klik saja tombol explore di instagram. Begitu kita meng-klik satu gambar, akan muncul puluhan bahkan ratusan gambar setema. Kalau kebetulan yang kita klik adalah satu tulisan politik yang provokatif, maka akan muncul ratusan postingan serupa.

Pembatasan sosial media ini kalau mau diambil positifnya adalah agar kita, para warga negara dan warga internet untuk sementara berpuasa dari sosial media. Setidaknya, mari kita menahan diri dari menyebarkan hal-hal yang belum tentu benar. Menahan diri dari berkata-kata dan mengetik hal-hal yang belum tentu bermanfaat. Apalagi saat ini masih bulan Ramadhan. Bulan menahan diri.

Soal pembatasan ini tentu menjadi masalah bagi mereka yang sehari-hari menggunakan instagram untuk mencari nafkah. Mereka yang berjualan di instagram atau facebook 'menjerit' ketika akses dibatasi. Pembatasan sosial media ini kabarnya menurunkan omzet pedagang online hingga 80 persen.

Tapi selalu ada cara untuk bisa mengakses WA dan sosial media. Dengan VPN yang gratis di-download netizen bisa meng-update sosial media tanpa masalah. Whatsapp bermasalah, masyarakat pun berbondong-bondong menginstal (kembali) aplikasi Telegram.

Kembali lagi, soal puasa sosial media ini sejatinya menurut pandangan penulis lebih kepada literasi masing-masing individu. Sosial media hanyalah sebuah alat. Menjadi berbahaya atau tidak tentu tergantung penggunanya.

Sosial media tidak akan menjadi masalah, bahkan di tahun politik sekalipun ketika para penggunanya sudah memiliki literasi yang baik. Membiasakan kroscek di setiap informasi yang didapatkan. Ingat prinsip dalam membagikan informasi. Apakah informasi ini benar? Apakah berguna bagi saya atau orang lain? Kita sendiri yang mampu menjawabnya. Katakanlah Whatsapp, Intagram dan Facebook dibatasi selama beberapa hari, tanpa literasi yang baik, berita hoaks pun dengan mudahnya beralih ke telegram (atau aplikasi lain yang tidak dibatasi pemerintah). Bukankah dengan begitu, berita hoaks hanya ‘pindah lapak’ saja?

*) Jurnalis republika.co.id

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement