Rabu 22 May 2019 02:02 WIB

Fanwar di Dunia Politik

Fanwar menjadi bagian yang tidak dipisahkan dari dunia penggemar KPop.

Ratna Puspita
Foto: dok. Republika
Ratna Puspita

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Ratna Puspita*

Fanwar atau perang fan merupakan istilah yang muncul pada penggemar budaya popular, di antaranya Hallyu Wave atau Gelombang Korea. Fanwar, yang pada dunia internet mengambil tempat di media sosial, terjadi ketika dua kelompok fans atau fandom beradu argumen mengenai bahwa idola mereka yang terbaik dan yang lain tidak.

Fanwar menjadi bagian yang tidak dipisahkan dari dunia penggemar KPop, khususnya mereka yang aktif di media sosial. Fandom grup idola atau solois akan siap beradu kicauan dengan fan dari grup lain, mulai dari lagu siapa yang berhak menang pada voting acara musik, views Youtube banyak, Billboard chart, dan mana yang paling banyak meraih pengakuan dari artis-artis mancanegara.

Karena itu, hampir pada setiap perang fans, komentar-komentar yang muncul bukan hanya sekadar meninggikan atau menceritakan pencapaian grup idolanya, melainkan juga menjatuhkan grup idola lain yang pencapaiannya dianggap tidak setara. Komentar-komentar tersebut pun mulai dari menyerang dengan fakta dan data, fakta yang tidak terkait alias tidak ada hubungannya (false conenection), hingga tidak ada faktanya.

Fan tidak segan melempar tuduhan yang tidak berdasar hanya karena tidak senang dengan pencapaian grup rival idolanya. Untuk itu, tidak mengherankan komentar-komentar yang muncul dalam fanwar sering kali sangat buruk.

Perang ‘fan’ ini yang tidak berbeda terjadi pada dunia politik. Saya melihat ada gejala fanatisme yang mirip antara pendukung tokoh politik dan fan dalam konteks budaya populer.

Penelitian mengenai fandom politik juga pernah dilakukan oleh akademisi sosial seperti Sandvoss dan Liesbet van Zoonen. Sandvoss berpendapat antusiasme politik dapat dikonsepkan sebagai bentuk fandom. Sebab, unggahan dari para pengguna termotivasi oleh ikatan afektif antara masyarakat dan politikus, antara fan dan objek fan.

Secara umum, komunitas fan dari budaya popular tertentu atau fandom memiliki ketertarikan terhadap teks budaya popular seperti musik, film, dan drama. Pada gilirannya, fan akan memproduksi teks mengenai ketertarikannya tersebut.

Fandom menggunakan internet dalam mengonsumsi atau memproduksi teks dengan cara membangun komunitas online melalui halaman pendukung atau fan page. Di dunia politik, tokoh politik juga memanfaatkan fan page untuk menjaring pendukung.

Dalam ranah internet, pendukung tokoh politik menunjukkan dukungannya, yang bukan hanya didasari oleh pemahaman logika, melainkan adanya koneksi afektif. Adanya koneksi afektif atau pelibatan perasaan ini memperlihatkan bahwa pendukung politik memiliki jiwa yang sama seperti fan pada budaya popular.

Di internet, saya sering melihat pendukung politik pun beradu komentar dengan pendukung tokoh lain soal pilihannya yang lebih baik dibandingkan pilihan orang lain. Tokoh politik yang didukungnya lebih baik dibandingkan tokoh politik dukungan orang lain.

Karena itu, perang antara pendukung politik pun sudah menjadi hal yang lumrah setiap pesta demokrasi. Seperti fanwar di dunia budaya popular, perang pendukung poliik ini memunculkan beragam komentar, mulai dari yang disertai dengan fakta dan data, fakta yang tidak terkait alias tidak ada hubungannya (false conenection), hingga tidak ada faktanya alias kebohongan. Kata-kata yang muncul dalam perang pendukung politik juga sangat buruk hingga sering kali memunculkan pertanyaan apakah kata-kata tersebut ditulis oleh manusia.

Saya juga mencermati dua hal yang mirip dari perang antarpenggemar di budaya popular dan politik. Pertama, perang itu hanya membuat pendukung kelelahan, sementara pihak yang dibela mendapatkan keuntungan.

Dalam konteks KPop, penggemar ribut soal idolanya. Keributan ini akan membuat fan merasa kelelahan karena energinya habis untuk membela, mencari bukti, dan menjatuhkan idola lain.

Di sisi lain, dia masih harus menghabiskan energinya untuk streaming video, menabung untuk membeli album, tiket konser, merchandise, dan benda-benda yang menghubungkan dengan idolanya. Semua aktivitas tersebut akan mendatangkan keuntungan bagi idola maupun agensi tempat idolanya bernaung.

Dalam konteks politik, pendukung adu argumen di media sosial, yang bahkan tidak jarang memutus tali silaturahim dengan teman atau kerabat. Pada akhirnya, yang mendapatkan keuntungan paling banyak dari perang tersebut adalah elite politik yang akan duduk di kursi kekuasaan.

Kedua, publik secara umum kemungkinan tidak peduli dengan fanwar. Ketika dua fandom bertengkar mengenai siapa idolanya yang paling layak meraih penghargaan, publik secara umum bisa jadi memberikan pilihan yang berbeda dari dua fans tersebut.

Mereka yang streaming video di Youtube bisa jadi bukan hanya orang-orang yang berasal dari fan yang sedang bertengkar. Begitu pula, orang-orang yang mengunduh lagu tidak selamanya berasal dari fandom, melainkan mereka yang mengapresiasi karya yang bagus.

Hal serupa juga sangat mungkin terjadi pada dunia politik. Publik secara umum bisa jadi tidak mau lagi meributkan soal politik karena sekarang adalah bulan Ramadhan  dan menjelang Idul Fitri.

Publik secara umum bisa jadi sedang memikirkan menu buka puasa, menu dan pakaian Idul Fitri. Terutama, publik mungkin sedang berhitung kapan tunjangan hari raya cair dan akan dibelanjakan untuk apa.

Jika ada hal yang berbeda dari fans KPop dan politik, adalah soal usia. Sebagian besar fans KPop berusia remaja, sedangkan pendukung politik biasanya berusia dewasa.

*) Penulis adalah redaktur republika.co.id

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement