Kamis 16 May 2019 08:03 WIB

Mengapa Defisit Neraca Perdagangan Tinggi?

BPS melaporkan neraca perdagangan April defisit 2,5 miliar dolar AS.

Rep: ADINDA PRYANKA, INTAN PRATIWI/ Red: Elba Damhuri
Kepala BPS Suhariyanto dalam konferensi pers di kantornya, Jakarta, Selasa (15/5). BPS mencatat, neraca perdagangan April 2019 mengalami defisit sebesar 2,5 miliar dolar AS.
Foto: Republika/Adinda Pryanka
Kepala BPS Suhariyanto dalam konferensi pers di kantornya, Jakarta, Selasa (15/5). BPS mencatat, neraca perdagangan April 2019 mengalami defisit sebesar 2,5 miliar dolar AS.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kinerja perdagangan Indonesia merosot pada April 2019. Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan, neraca perdagangan pada bulan lalu mengalami defisit sebesar 2,5 miliar dolar AS. Ini rekor defisit terparah sejauh ini. Padahal, neraca dagang sempat surplus 540 juta dolar AS pada Maret 2019.

Kepala BPS Suhariyanto menyampaikan, defisit tersebut berasal dari neraca dagang migas yang minus 1,49 miliar dolar AS dan nonmigas yang defisit 1 miliar dolar AS. Nilai ekspor Indonesia pada April 2019 mencapai 12,60 miliar dolar AS, menurun 10,80 persen dibandingkan Maret 2019 (month to month/mtm). Jika dibandingkan April 2018, penurunannya lebih dalam, yakni mencapai 13,10 persen.

Sementara, nilai impor naik 12,25 persen menjadi 15,10 miliar dolar AS (mtm). Namun, apabila dibandingkan April 2018, nilai impor turun 6,58 persen.

Suhariyanto menjelaskan, ada dua faktor yang paling memengaruhi penurunan kinerja dagang. Pertama, melambatnya perekonomian global. Kedua, harga komoditas yang masih berfluktuasi, di antaranya harga minyak mentah Indonesia atau Indonesia crude price (ICP).

Pada Maret 2019, ICP mencapai 63,60 dolar AS per barel yang kemudian mengalami peningkatan pada April menjadi 68,71 dolar AS per barel. "Jadi, untuk ICP, harga meningkat dari bulan Maret ke April," ujar Suhariyanto.

Makin tinggi ICP, nilai impor migas akan membengkak mengingat Indonesia saat ini merupakan negara importir minyak.

Terkait harga komoditas, Suharianto memparkan, ada beberapa komoditas nonmigas yang mengalami peningkatan harga, seperti cokelat dan minyak sawit. Kenaikan harga minyak sawit memberikan pengaruh signifikan karena kontribusi lemak dan hewan nabati ke komoditas ekspor mencapai 11,11 persen.

Di sisi lain, Suhariyanto menjelaskan, ada beberapa komoditas yang harganya turun, antara lain, batu bara, minyak kernel, batu bara, timah, dan nikel.

Defisit dagang April cukup dalam karena ada kenaikan impor yang signifikan secara bulanan. Suhariyanto menjelaskan, impor semua golongan penggunaan barang mengalami kenaikan dibandingkan Maret 2019.

Peningkatan paling tertinggi terjadi pada barang konsumsi dengan kenaikan 24,12 persen. Sementara, bahan baku/penolong naik 12,09 persen dan barang modal 6,78 persen.

Ia mengatakan, tren kenaikan impor secara bulanan sering dijumpai pada bulan Ramadhan dan jelang Lebaran. "Ada beberapa komoditas yang dirasa perlu untuk memenuhi permintaan konsumsi selama momen tersebut," katanya.

Salah satu komoditas yang mengalami kebutuhan peningkatan adalah daging beku. Menurut catatan BPS, kenaikan nilai impor produk ini mencapai 23,6 juta dolar AS (mtm), yakni dari 40,5 juta dolar AS pada Maret 2019 menjadi 64,1 juta dolar AS pada April 2019.

Kenaikan juga terjadi secara tahunan. Pada April 2018, impor daging beku tercatat sebesar 42,7 juta dolar AS. Suhariyanto mengatakan, komoditas tersebut didatangkan dari India dan Amerika Serikat. "Tujuannya untuk menjaga pasokan," kata dia.

Selain produk makanan, alas kaki juga menjadi komoditas barang konsumsi yang mengalami peningkatan jumlah impor. Pada Maret, nilainya 66,7 juta dolar AS, lalu naik menjadi 85,4 juta dolar AS pada April 2019.

"Mungkin karena jelang Lebaran, semua orang banyak beli sepatu baru," ujar Suhariyanto.

Sementara untuk bahan baku, kenaikannya hanya 12 persen menjadi 11,32 miliar dolar AS pada April 2019. Suhariyanto berharap kenaikan impor bahan baku dapat menggeliatkan berbagai sektor dalam negeri.

Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro mengatakan, anjloknya kinerja ekspor merupakan imbas dari situasi perdagangan global yang tidak kondusif. “Ada dua hal. Melemahnya permintaan global dan dampak dari perang dagang,” kata Bambang di Jakarta, Rabu (15/5).

Bambang menyampaikan, hampir semua negara yang menjadi mitra dagang utama Indonesia menahan permintaan. Hal itu utamanya dipicu akibat ketegangan perang dagang antara dua raksasa ekonomi terbesar di dunia, yakni Amerika Serikat dan Cina. Perang dagang AS-Cina berdampak karena kedua negara tersebut merupakan mitra dagang utama Indonesia.

Hanya, Bambang menegaskan, perang dagang yang tengah berlangsung antarkedua negara itu tetap masih menjadi peluang bagi Indonesia untuk memanfaatkan situasi. Perang tarif bea masuk yang diterapkan kedua negara dapat dimanfaatkan industri dalam negeri untuk masuk menjadi eksportir.

“Kita bisa ambil manfaat dari situ. Jadi, prioritas pemerintah itu. Nanti kita lihat, bagaimana dinamika globalnya,” ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement