Kamis 09 May 2019 20:30 WIB

Jaksa KPK Sebut Menpora Ikut Serta dalam Permufakatan Jahat

Keterlibatan Menpora dibeberkan jaksa saat membacakan tuntutan untuk Sekjen KONI.

Imam Nahrawi menjadi Saksi. Menpora Imam Nahrawi memasuki ruang sidang untuk menjadi saksi dalam kasus dugaan suap dana hibah KONI di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (29/4/2019).
Foto: Republika/ Wihdan
Imam Nahrawi menjadi Saksi. Menpora Imam Nahrawi memasuki ruang sidang untuk menjadi saksi dalam kasus dugaan suap dana hibah KONI di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (29/4/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Jaksa Penuntut Umum (JPU) menilai Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) Imam Nahrawi, asisten pribadinya Miftahul Ulum, dan staf protokoler Kemenpora Arief Susanto melakukan permufakatan jahat yang dilakukan secara diam-diam (sukzessive mittaterscraft). Hal itu diutarakan jaksa dalam nota tuntutan terhadap Sekjen KONI Ending Fuad Hamidy dan Bendahara Umum KONI Johny E Awuy di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Kamis (9/5).

"Menurut pandangan kami penuntut umum, dari adanya keterkaitan antara bukti satu dengan yang lain menunjukkan adanya bukti dan fakta hukum tentang adanya keikutsertaan dari para saksi tersebut dalam suatu kejahatan yang termasuk dalam permufakatan jahat yang dilakukan secara diam-diam atau dikenal dengan istilah sukzessive mittarterscraft," kata JPU KPK Ronald Worotikan di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Kamis.

Baca Juga

Dalam perkara ini, JPU KPK menuntut Ending Fuad Hamidy dengan pidana 4 tahun penjara ditambah denda sejumlah Rp 150 juta subsider 3 bulan kurungan. Sementara, Johny E Awuy dituntut 2 tahun penjara ditambah denda Rp100 juta subsider 3 bulan kurungan.

Jaksa meminta agar majelis tidak mempertimbangkan kesaksian yang diberikan Imam Nahrawi, Miftahul Ulum dan Arief Susanto. Ketiganya membantah penerimaan uang total Rp 11,5 miliar dari Ending dan Johny E Awuy kepada Miftahul Ulum untuk kepentingan Imam Nahrawi.

"Keterangan saksi dan alat bukti berupa buku tabungan bank atas nama Johny E Awuy dan rekening koran dan bukti kartu ATM yang pernah diserahkan Johny atas sepengetahuan Ending kepada Miftahul Ulum serta alat bukti elektronik berupa rekaman percakapan maka bantahan yang dilakukan saksi Miftahul Ulum, saksi Arief Susanto dan saksi Imam Nahrawi menjadi tidak relevan dan patut dikesampingkan," tambah jaksa Ronald.

Alasannya adalah keterangan saksi hanya berdiri sendiri dan tidak didukung alat bukti sah lainnya. "Bantahan tersebut hanya usaha pembelaan pribadi para saksi agar tidak ikut terjerat dalam perkara ini mengingat adanya keterangan saksi Valentinus Suhartono Suratman selaku Ketua KONI Pusat yang dalam keterangannya saat diputar rekaman percakapan Valentinus Suhartono Suratman mengakui dirinya berbicara dengan Adhi Purnomo dan Eko Triyanta pada 13 November 2018," ungkap jaksa.

Saat it,u Suhartono Suratman sedang melakukan pertemuan dengan Miftahul Ulum, Ending dan Johny E Awuy di kantor KONI Pusat kemudian yang dipanggil "babe" dalam percakapan tersebut adalah Ending selaku Sekjen KONI Pusat. Pada pertemuan itu, dibicarakan agar Asian Games 2018 berjalan sukses dan ternyata sampai November 2018 masih ada kendala dan hambatan. Suhartono Suratman dalam pertemuan ini berharap agar Miftahul Ulum dapat memberikan masukan kepada Menpora agar proposal Wasping I dapat disetujui dan dicarikan.

Johny E Awuy juga pernah melakukan transfer kepada Miftahul Ulum saat Johny ada di Papua dan Ulum ada di Jeddah. Johny mentransfer Rp 20 juta. Lalu, saat kembali ke Jakarta Johny melapor ke Ending dan mentransfer lagi Rp30 juta sehingga total yang ditransfer ke Miftahul Ulum adalah Rp 50 juta sekira akhir November-awal Desember 2018.

Penarikan dana dilakukan oleh Miftahul Ulum pada akhir November 2018 saat sedang mendampingi Imam Nahrawi terkait undangan Federasi Paralayang di Jeddah. Sekaligus, melaksanakan ibadah umroh bersama dengan Imam Nahrowi dan beberapa pejabat kemenpora RI

"Namun di depan persidangan saksi Miftahul Ulum dan saksi Arief Susanto memberikan bantahan bahwa mereka tidak pernah datang ke kantor KONI Pusat dan tidak pernah menerima pemberian uang sejumlah total Rp 11,5 miliar sebagaimana keterangan Ending Fuad Hamidy, Eni Purnawati, supir Ending yaitu Atam yang diperkuat oleh pengakuan Johny E Awuy terkait adanya pemberian jatah komitmen fee secara bertahap yang diterima oleh Mihtahul Ulum dan Arief Susanto guna kepentingan Menpora RI yang seluruhnya sejumlah Rp11,5 miliar haruslah dikesampingkan," tegas jaksa Ronald.

Kesaksian Menpora

Menpora Imam Nahrawi pada Senin (29/4) malam menjadi saksi untuk terdakwa Ending Fuad Hamidy dan Johny E Awuy. Dalam sidang itu, Imam sempat dicecar oleh majelis hakim terkait asisten pribadinya, Miftahul Umum yang adalah mantan sopirnya selama di Jawa Timur.

"Ulum itu awalnya sopirnya Khoirudin tapi karena saya ketua Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) PKB, jadi saya suka dipinjamkan," kata Imam di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Senin.

"Jadi Ulum ini tangan kanan saudara ya? Jadi aspri orang kepercayaan? Lantas tanggung jawab Ulum ke siapa?" tanya ketua majelis hakim Rustiono.

"Langsung ke saya," jawab Imam.

"Saksi sebelumnya mengatakan uang Rp 3 miliar pernah diterima saudara Ulum, walau Ulum membantahnya tapi saksi mengatakan sudah menyerahkan lewat suruhan Ulum bernama Arif yaitu protokol saudara, saya tanya Rp 3 miliar ke mana? Ternyata belum disita bukan diberikan ke saudara?" tanya hakim Rustiono.

"Tidak," jawab Imam.

"Mendengar Ulum dapat Rp 3 miliar bagaimana perasaan saudara?" tanya hakim Rusitono.

"Saya tidak tahu, saya tidak percaya," jawab Imam.

"Kok tidak kaget? Biasa-biasa saja padahal sopirnya dapat Rp 3 miliar kok tidak kaget. Kalau saya sudah lompat karena sampai pensiun juga tidak dapat Rp 3 miliar, " tanya hakim Rustiono.

"Saya juga kaget tapi saya tidak tahu," jawab Imam.

"Sekarang Ulum masih aktif?" tanya hakim Rusitono.

"Tidak aktif tapi masih di kantor," jawab Imam.

"Sampai sekarang Rp 3 miliar tidak diketahui sedangkan Ulum sendiri bertanggung jawab ke saudara ?" tanya hakim Rustiono.

"Itu hanya urusan tugas-tugas yang mulia," jawab Imam.

"Saksi lain juga mengatakan Ulum ditakuti, Mulyana saja takut sama Ulum, lebih takut dari kata-kata Ulum karena Ulum kepanjangan tangan saudara tahu?" tanya hakim Rustiono.

"Tidak tahu," jawab Imam.

"Pernah mendengar setiap proposal yang diajukan KONI selalu ada dana permintaan Kemenpora sebagai fee? Saudara sudah disumpah dan sumpah lebih berat dari apa pun," cecar hakim Rustiono.

"Betul, saya tidak pernah mendengar dan Ulum tidak pernah cerita," jawab Imam

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement