REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepala Bidang Rehabilitasi Sosial Dinas Sosial (Dinsos) DKI Jakarta Yayat Duhayat mengatakan, tak ada program khusus dalam mengantisipasi Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) menjelang Ramadhan. Menurut dia, Dinsos DKI akan meningkatkan pengawasan dan pemantauan di seluruh wilayah DKI.
"Program khusus enggak ada, tapi memperluas jangkauan pelayanan, pengetatan itu akan lebih diperketat," kata Yayat saat ditemui Republika di Kantor Dinsos DKI, Jakarta Pusat, Jumat (3/5).
Ia memaparkan, Dinsos DKI melakukan pengawasan terhadap PMKS di 279 titik rawan PMKS. Pada bulan puasa nantinya, jangkauan pengawasan Tim Petugas Pelayanan Pengawasan dan Pengendalian Sosial (P3S) lebih diperluas.
Yayat mengatakan, pengemis atau gelandangan biasanya berada di pusat keramaian seperti tempat hiburan atau rekreasi, pusat perbelanjaan, tempat ibadah, dan sebagainya. Selama bulan Ramadhan, biasanya pengemis memenuhi tempat ibadah.
"Pengawasan tetap, tapi penjangkauannya yang akan diperluas, dari titik itu area pengawasannya misalkan masjid, itu tetap, misalnya Monas ke jalur melebar ke daerah Istiqlal," kata Yayat.
Ia mengatakan, ada sekitar empat atau lima petugas yang akan memantau kawasan rawan PMKS. Di sisi lain, Yayat pun tak menampik jika PMKS terus berdatangan ke Ibu Kota termasuk pada bulan puasa.
Namun, ia meyakini dengan tim P3S, penyebaran PMKS pada saat Ramadan bisa dicegah. Masyarakat pun, kata dia, bisa ikut berperan aktif melaporkan jika melihat PMKS ke posko-posko pengendalian PMKS jalanan yang dilakukan Dinsos DKI maupun Suku Dinas di setiap wilayah Jakarta.
Para PMKS yang ditertibkan petugas nantinya akan mendapatkan asesmen, seperti asesmen terhadap anak jalanan dan orang tua anak jalanan. Mereka juga akan dibawa ke panti untuk dilakukan pembinaan.
Selain itu, Yayat mengatakan, bagi PMKS yang bukan warga DKI melainkan daerah di luar kota akan dipulangkan. Ia menyebut, pihaknya telah memulangkan PMKS dua bulan terakhir ke daerah asalnya di Jawa Barat dan Jawa Tengah sebanyak 150 orang dan 100 orang.
"Untuk sementara kebanyakan dari sana, sudah dua bulan terakhir ini, 2019 ini berturut-turut melakukan pemulangan ke daerah Jawa Tengah sama Jawa Barat," tutur Yayat.
Ia mengatakan, kebanyakan PMKS yang telah terjaring memang berasal dari kalangan tidak mampu. Mereka yang datang ke Ibu Kota memang bukan berniat menjadi pengemis melainkan orang-orang yang tak mampu bersaing.
Menurut Yayat, Jakarta menjadi tempat favorit masyarakat mencari rezeki. Kebanyakan masyarakat menganggap mudah mencari nafkah di kota metropolitan ini.
Adapun terkait pembagian tugas pengawasan di lapangan, lanjut Yayat, dilakukan dengan dua shift. Pada shift pertama dimulai pada 07.00-15.00 WIB dan pada shift kedua 15.00-23.00 WIB. Meski begitu, posko yang berada di Dinas Sosial maupun di Suku Dinas, tetap beroperasi selama 24 jam.
Berdasarkan data Dinsos DKI, ada 1.624 orang PMKS telah ditertibkan pada 2019. Dengan rincian, Januari sebanyak 657 orang, Februari 348 orang, dan meningkat lagi di bulan Maret hingga 619 orang. Kebanyakan mereka adalah gelandangan dan psikotik atau orang stres.
Dinsos mengategorikan PMKS sebanyak 25 jenis. Selain gelandangan, pengemis, orang stres, PMKS juga termasuk parkir liar, pengamen, pengamen ondel-ondel, pekerja seks komersial (PSK), waria, anak jalanan, pemulung, hingga lansia terlantar.
Pengamat sosial vokasi dari Universitas Indonesia, Devie Rahmawati, menjelaskan, fenomena meningkatnya pengemis ke Ibu Kota menjelang puasa. Menurut dia, pada Ramadan dan hari besar keagamaan, orang-orang memiliki tradisi berbagi, hal itulah yang dimanfaatkan sebagian orang.
"Ini kemudian tentu saja dimanfaatkan momentumnya oleh kelompok-kelompok masyarakat yang menggunakan jalan ekonomi bawah tanah seperti mengemis untuk bisa mendapatkan peluang meraih kue ekonomi tersebut," kata Devie saat dihubungi Republika, Jumat.
Menurut dia, Pemprov DKI perlu mencontoh Singapura. Tiap warga yang melihat ada pengemis, mereka akan melaporkannya kepada negara. Kesadaran tersebut bahwa ketika membantu orang lain, orang tersebut berubah, bukan terus-menerus bergantung pada bantuan orang lain.
Menurut dia, pelaporan warga Singapura bukan karena tak punya hati tetapi karena mereka tahu bahwa negara akan menyelesaikannya. Ia mencontohkan, bisa saja PMKS itu akibat penggunaan narkoba ataupun malas. Untuk itu, perlu ada penanganan yang tepat.
"Kalau kita sumbangkan ke badan amal zakat nasional misalnya, kan dana jadi terkumpul menjadi lebih besar, sehingga lebih produktif kan, dibangun rumah sakit, dibangun sekolah misalnya," kata Devie.