Kamis 02 May 2019 10:12 WIB

Pemilu Serentak Membutuhkan Evaluasi dan Perbaikan

Ada kegagapan di antara para aktor dalam memahami dan merespons pemilu serentak.

Red: EH Ismail
Relawan milenial Jokowi-Ma'ruf mengadakan aksi doa dan tabur bunga pada Ahad, (28/4) di kawasan bundaran HI Jakarta. Mereka mendoakan para penyelenggara pemilu yang sakit dan meninggal selama pemilu serentak 2019.
Foto: Rizky Suryarandika
Relawan milenial Jokowi-Ma'ruf mengadakan aksi doa dan tabur bunga pada Ahad, (28/4) di kawasan bundaran HI Jakarta. Mereka mendoakan para penyelenggara pemilu yang sakit dan meninggal selama pemilu serentak 2019.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Pemilu serentak yang baru saja dilaksanakan jangan terburu-buru diubah. Pelaksanannya membutuhkan evaluasi dan perbaikan agar pelaksanaannya pada masa mendatang menjadi lebih baik.

Hal itu disampaikan Direktur Eksekutif Sindikasi Pemilu dan Demokrasi (SPD) August Mellaz dalam keterangan tertulisnya pada Kamis (2/5). Dia mengatakan, setiap sistem yang baik, pasti membutuhkan dan bahkan meniscayakan evaluasi bagi perbaikan.

“Tetapi, dengan segala kompleksitas yang terjadi dan proses yang saat ini sedang berlangsung, apakah sudah sangat layak dan tidak tergesa-gesa jika hendak melakukan evaluasi,” ujarnya.

Lebih-lebih, akibat persoalan-persoalan teknis lapangan yang menjadi wilayah otoritas administrasi kepemiluan; Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) tiba-tiba ramai muncul evaluasi sistem. Apalagi hendak memisahkannya kembali.

Dia mempertanyakan, apakah tidak sebaiknya fokus pada upaya bagaimana mendorong administrasi pemilu melakukan langkah-langkah terukur, evaluatif, dan disampaikan ke publik? Mengapa problematika teknis ini seperti tidak ada mitigasi yang utuh dan antisipasi apapun.

Pilpres menjadi mayor

photo
Petugas KPU Tangerang Selatan menunjukan surat suara Pilpres untuk pelaksanaan Pemungutan Suara Ulang (PSU) Pemilu 2019 di Kantor KPU Tangerang Selatan, Serpong, Tangerang Selatan, Banten, Selasa (23/4/2019).

Ketika pemilu diserentakkan, konsekuensi dasarnya adalah pemilu presiden (pilpres) menjadi mayor sedangkan pemilu legislatif menjadi minor. Pengetahuan tentang bagaimana sistem yang dipakai akan bekerja, akan menentukan bagaimana perilaku para pengguna, peserta, penyelenggara, dan pemilih sebagai respons terhadap bekerjanya suatu sistem.

Sayangnya, August mencatat, ada kegagapan di antara para aktor dalam memahami dan merespons pemilu serentak. Mereka mengusulkan untuk mengubah sistem dan melaksanakannya secara terpisah.

“Tentu ini sangat disayangkan, karena setiap sistem apapun yang dipilih memiliki misi. Salah satunya membiasakan atau membudayakan penggunanya. Jadi dalam konteks ideal, sistem yang dipakai sebaiknya dua atau tiga kali diterapkan. Evaluasi dilakukan dalam rangka perbaikan atas beberapa hal yang masih kurang, tanpa harus mengubah keseluruhan,” ujarnya.

Jika pun evaluasi, mungkin perlu dipertimbangkan beberapa hal. Pertama, coba fokus ke lembaga administrasi pemilu. Bagaimana dalam rentang waktu hampir dua tahun ini menyiapkan pelaksanaan dan antisipasi terhadap berbagai masalah terkait dengan kompleksitas sistem. Kedua, tetap dalam bingkai pemilu serentak.

Menelisik kompatibilitas sistem pemilihan legislatif (DPR dan DPRD) dalam keserentakan pemilu. Apakah daftar terbuka memang kompatibel atau sistem pileg lainnya? Jika pemilu serentak dengan daftar terbuka tetap dipertahankan, apakah teknologi informasi seperti e-voting ataupun e-counting dapat dipercayai para pihak untuk menjembataninya? Atau, tambah August, akan muncul alternatif lainnya. 

“Ketiga, sebaiknya tidak terburu-buru dalam mengambil kesimpulan tertentu. Proses masih berjalan, dan kita belum memiliki berbagai informasi dan data secara memadai untuk lakukan penilaian,” ujar August.

Apakah berbagai tujuan keserentakan sama sekali tidak tercapai atau jika dilakukan pendalaman sebagian mulai mengarah pada tujuan yang telah ditetapkan. Pihaknya mengajak semua pihak untuk bersama-sama meluangkan kesabaran dan memitigasi sejumlah data yang tersedia.

“Begitu penetapan hasil pemilu pada 22 Mei, kita akan dapat melihat potret sistem kepartaian yang akan terbentuk. Apakah fragmentasi ataukah konsentrasi yang terjadi? Pascapelantikan legislatif dan presiden/wapres terpilih, serta pembentukan kabinet pada Oktober 2019,” imbuhnya.

Masyarakat juga dapat melihat setidaknya dua hal. Pertama, apakah model koalisi permanen yang dikehendaki keserentakan terjadi, dan kedua bagaimana potensi pemerintahan presidensialisme efektif yang teoritis akan terwujud.

“Hemat saya, segala ketergesaan dalam lakukan evaluasi, meski dimaksudkan untuk perbaikan, tidak jarang memiliki potensi lepas atau tidak terjangkaunya sejumlah masalah penting,” tukas August.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement