Selasa 30 Apr 2019 07:11 WIB

Terjebak pada Investasi

SDM Indonesia yang melimpah tak luput dari incaran para pemburu rente

Investasi.   (ilustrasi)
Foto: Republika/Aditya Pradana Putra
Investasi. (ilustrasi)

Sejak dahulu, investasi selalu dijadikan ukuran keberhasilan perekonomian sebuah negara. Wajar jika berbagai peluang yang dapat menarik investor maka akan dijadikan sebagai jalan untuk menghasilkan pendapatan negara. Karena bagi negara, dana investor adalah dana paling segar untuk dapat mendukung adanya pembangunan termasuk salah satunya untuk infrastruktur.

Berbagai kebijakan pemerintah dijadikan gerbang utama untuk melancarkan investasi asing agar semakin tumbuh subur di negara ini. Tentu ini seharusnya menjadi hal yang harus dikritisi, terlebih lagi oleh mahasiswa. Pasalnya, investasi jika dikritisi secara lebih mendalam justru menjadi jalan bagi penjajahan asing terhadap perekonomian Indonesia. Sumber daya alam Indonesia yang melimpah pun tak luput dari incaran para pemburu rente.

Investasi asing sangat memungkinkan mengancam kepentingan rakyat karena hak-hak rakyat bisa tergadai lantaran berbagai sumberdaya yang seharusnya bisa mensejahterakan rakyat ketika negara ambil peran dalam mengelolanya. Namun karena investasi asing masuk maka hak-hak rakyat jadi tergusur.

Pada 2012, Indonesia menjadi primadona baru dari negara tujuan investasi di Asia, setelah Tiongkok dan India. Berbagai kesepakatan investasi terus dilancarkan. Misalnya saja kerja sama yang telah dilakukan Presiden Joko Widodo bersama dengan Korea Selatan pada 2018 yang menghasilkan kesepakatan bisnis senilai 6,2 milliar dolar AS. Besaran investasi tersebut paling banyak adalah pada proyek pembangkit listrik sekitar 3 miliar dolar AS.

Investasi Korea Selatan menyebabkan penguasaan Korea selatan terhadap sebagian besar pembangkit listrik Indonesia. Penguasaan ini tentu akan berbahaya karena wewenang pengelolaan bukanlah pada negeri ini, tetaoi berada di atas kendali wewenang asing. Padahal pembangkit listrik merupakan salah satu penentu mandiri atau tidaknya suatu bangsa.

Tidak hanya pada kasus pembangkit listrik, kali ini, Indonesia ingin memanfaatkan adanya perang dagang Amerika Serikat dan Cina karena melihat adanya peluang yang terbuka bagi Indonesia untuk membidik potensi relokasi industri di Cina yang selama ini menyasar pasar Amerika Serikat agar berpindah menuju Indonesia.

Menurut Badan Koordinasi Penanaman Modal dari periode Januari hingga September 2018, tercatat realisasi penanaman modal asing pada sektor perumahan, kawasan, industri, dan perkantoran (16 persen), listrik, gas, dan air (13,7 persen), pertambangan (10 persen), industri logam dasar, barang logam, bukan mesin dan peralatannya (7,8 persen), dan transportasi gudang dan telekomunikasi (9,1 persen).

Pertanyaan terbesarnya adalah mungkinkah investasi yang disepakati itu tanpa adanya imbalan? Tentu saja tidak, karena tidak akan pernah ada makan siang gratis terlebih pada kesepakatan antar dua negara.

Anehnya adalah, beberapa tokoh mendukung dengan adanya investasi asing ini dengan dalih bahwa investasi ini mampu memberikan peningkatan pada sektor produksi seperti pertanian, perikanan, perkebunan, dan industri manufaktur. Peningkatan ini dianggap mampu memberikan nilai tambah dalam penyerapan tenaga kerja sehingga mampu meningkatkan pendapatan masyarakat.

Dengan investasi tersebut, dalam jangka pendek, mungkin benar keuntungan mampu diraih oleh Indonesia dalam dua hingga tiga tahun kedepan, namun siapa yang mampu menjamin belasan tahun kemudian? Ketika asing tanpa disadari telah menguasai aset-aset sumber daya alam Indonesia yang merupakan kepemilikan umum. Akibat dari semua ini, rakyat hanya menjadi konsumen atas hak-haknya sendiri.

Pasal 33 Ayat 3 yang berbunyi “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat". Bagaimana pasal ini bisa mewujud jika investasi asing terus diberi jalan?

Dari sini tampak jelas bahwa konstitusi negara menjadi demikian lemah tidak berdaya dalam menghadapi selubung kepentingan yang dijajakan para pemburu keuntungan yang bergembira di atas derita rakyat. Semakin lemah suatu rezim dalam mengatur hubungan politik luar negeri tentu juga akan berdampak semakin tidak percayanya rakyat terhadap pemimpinnya sendiri. Karena sejatinya, rakyat yang cerdas adalah rakyat yang melihat suatu pemerintahan bukanlah dengan fisik dari pemerintah tersebut, melainkan dari kebijakan yang lahir dari pemerintahannya, apakah pro terhadap rakyat, atau justru sebaliknya

TENTANG PENULIS

SURURUM MARFUAH HASH, Mahasiswi Institut Pertanian Bogor

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement