REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA --- Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) menyoroti ratusan petugas pemilu yang meninggal dunia selama proses perhitungan suara Pemilu 2019. KIPP menilai faktor tekanan mental pada petugas patut dipertimbangkan sebagai penyebab mereka meninggal. Sebab hal itu sulit dideteksi secara kasat mata.
"Apakah ini juga terkait psikologi politik. Bukan soal kelelahan fisik semata. Terlalu cepat juga kalau menyimpulkan penyebabnya adalah karena pemilu serentak semata. Bisa saja suasana politik membuat tekanan psikis itu berakumulasi," kata Sekjen KIPP, Kaka Suminta pada Republika.co.id, Ahad (28/4).
Kaka mengatakan faktor tekanan mental cenderung lebih sulit terdeteksi ketimbang penyakit fisik. Para petugas pemilu, kata dia, terbebani mentalnya karena diawasi ketat oleh berbagai pihak. Belum lagi, ada tuduhan kecurangan yang dialamatkan pada mereka.
"Tekanan psikis ini hampir tak terdeteksi. Karena kita lebih mengacu pada pelaksanaan fisik. Tapi dari pantauan sosmed nampak jelas tekanan itu. Termasuk kecurigaan kepada lembaga penyelenggara pemilu," ujarnya.
Ia mengakui kasus meninggalnya petugas pemilu saat perhitungan suara belum menjadi fokus. Bahkan datanya pada tahun lalu pun tak ada hingga sulit dicari pembandingnya.
"Dari sisi jumlah ini mengejutkan. Tapi kita juga tak punya perbanding dengan pemilu sebelumnya. Sehingga perlu kajian lebih jauh untuk sampai pada kesimpulan. Tentu untuk mencari solusi bisa dibuat kajian. Tapi setidaknya kita bisa melihat dari sisi fisik dan psikologi politik massa yang bisa jadi menimbulkan kelelahan," ucapnya.
Sebelumnya, Sekretaris Jenderal Komisi Pemilihan Umum (KPU), Arief Rahman Hakim, mengatakan jumlah kelompok penyelenggara pemungutan suara (KPPS) yang meninggal dunia semakin bertambah. Hingga Senin (29/4) pagi, ada 296 KPPS yang meninggal dunia. "Jumlah KPPS yang wafat sebanyak 296 orang. Kemudian jumlah KPPS yang sakit ada 2.151 orang," ujar Arief.