Kamis 25 Apr 2019 09:45 WIB

Muslim Sri Lanka yang Diliputi Kecemasan

Mereka khawatir jika saya keluar rumah maka tak akan bisa pulang hidup-hidup.

Polisi Sri Lanka berpatroli di luar sebuah masjid di Kolombo, Sri Lanka, Rabu (24/4).
Foto: AP Photo/Eranga Jayawardena
Polisi Sri Lanka berpatroli di luar sebuah masjid di Kolombo, Sri Lanka, Rabu (24/4).

REPUBLIKA.CO.ID, KOLOMBO -- Aparat keamanan Sri Lanka mengklaim pengeboman pada Hari Paskah yang menewaskan lebih dari 350 orang dilakukan kelompok radikal Islam di negara tersebut. Sangkaan itu memunculkan kekhawatiran di kalangan umat Islam yang populasinya sekitar 10 persen dari keseluruhan penduduk Sri Lanka.

Sejauh ini gerakan dan asosiasi masyarakat sipil Muslim Sri Lanka telah meminta pihak berwenang segera menangkap dan menghukum para pelaku pengeboman Rabu (24/4). Mereka menyatakan, ekstremisme atas nama Islam tidak mewakili agama. Dalam sebuah pernyataan bersama mereka menyebut pihak berwenang juga harus menangkap mereka yang membantu para penyerang melalui penghasutan, pembiayaan, dan dukungan lainnya.

"Kelompok yang melakukan serangan tidak mewakili Islam atau mencerminkan kepercayaan Muslim. Mereka telah menyalahgunakan dan melecehkan Islam agar sesuai dengan agenda radikal mereka sendiri," demikian tertulis dalam lansiran tersebut. Di antara para penanda tangan pernyataan yang disampaikan termasuk Jamiyyathul Ulama Seluruh Sri Lanka, Dewan Muslim, Jama'athe Islami, Asosiasi Memon Sri Lanka, dan Anjuman-E Saifi.

Menurut Presiden Jamiyyathul Ulama Seluruh Sri Lanka Mufti MIM Rizwe, pihaknya juga telah mengunjungi Uskup Agung Kardinal Malcolm Rajith. Kunjungan itu untuk menunjukkan belasungkawa dan solidaritas kepada komunitas Kristiani yang terdampak pengeboman. Rizwe menyatakan, komunitas Muslim akan bekerja sama sepenuhnya terkait penyelidikan pengeboman.

"Dalam tragedi hebat ini, mari kita semua bergabung bersama dalam solidaritas dan menghadapi tantangan dengan saling mencintai dan menghormati untuk maju sebagai warga Sri Lanka. Kami berdoa kepada Allah SWT agar Dia meringankan rasa sakit semua yang terkena dampak dan memberikan rahmat-Nya kepada mereka," demikian tertulis dalam rilis itu.

Rangkaian ledakan bom di Sri Lanka terjadi pada Ahad (21/4) di tiga gereja, yakni Gereja St Sebastian, Gereja St Anthony, dan Gereja Katolik Roma Zion. Ledakan bom juga terjadi di empat hotel mewah, yaitu Hotel Shangri La, Hotel Kingsbury, Hotel Cinnamon Grand, dan Hotel New Tropical Inn serta sebuah rumah di pinggiran Kolombo.

Kepolisian Sri Lanka pada Rabu (24/4) menyebut jumlah korban tewas telah mencapai 359 orang dan sedikitnya 500 lainnya terluka. Kepolisian Sri Lanka juga telah menangkap 40 tersangka yang sebagian besar warga Sri Lanka terkait rentetan bom tersebut.

Para penyidik Sri Lanka meyakini sedikitnya ada tujuh pengebom bunuh diri. Otoritas Sri Lanka menduga kelompok militan lokal, National Thawheed Jama'at (NTJ), ada di balik rentetan teror bom itu. NTJ dicurigai mendapat bantuan dari jaringan internasional dalam melancarkan aksinya.

Perdana Menteri Sri Lanka Ranil Wickremesinghe menduga kelompok Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) terkait dengan peristiwa rangkaian serangan bom tersebut. ISIS memang telah mengklaim serangan itu, tapi tidak memberikan bukti mengenai keterlibatannya.

Di hadapan parlemen, Pemerintah Sri Lanka bahkan menduga ada kaitan serangan bom bunuh diri dengan aksi penembakan brutal di dua masjid di Selandia Baru, bulan lalu. Meski tidak dijelaskan hubungan langsung itu, pemerintah hanya menyebutnya sebagai aksi balas dendam.

Polisi telah mengidentifikasi delapan dari sembilan terduga teroris yang melakukan penyerangan tersebut merupakan warga negara Sri Lanka. "Mereka secara finansial cukup mandiri dan keluarga mereka cukup stabil secara finansial," ujar Wakil Menteri Pertahanan Sri Lanka Ruwan Wijewardene dalam pernyataannya, kemarin.

Pengungkapan soal pelaku yang dimulai secara resmi oleh aparat keamanan sejak Selasa (23/4) tersebut tak pelak memunculkan kerisauan di kalangan umat Islam Sri Lanka. Komunitas Muslim juga marah terkait serangan bom. "Komunitas Muslim juga tak mendukung ideologi menyimpang para pelaku," kata pemimpin Kongres Muslim Sri Lanka Rauff Hakeem yang juga seorang menteri kabinet seperti dikutip media India the Hindu, kemarin.

Selama ini umat Islam dan Kristiani memang lebih kerap jadi korban persekusi di Sri Lanka, terlebih sejak pemberontak Macan Tamil dikalahkan pada 2009. Biksu-biksu garis keras Buddha kerap mengampanyekan sentimen anti-Islam.

Tahun lalu, pemerintah sempat memblokir seluruh media sosial terkait serangan terhadap toko-toko milik Muslim dan penganiayaan yang merebak. Kejadian serupa juga sempat terjadi pada 2013.

photo
Seorang petugas keamanan berjaga di luar Gereja St. Anthony di Kolombo, Sri Lanka, usai serangan bom saat Paskah di gereja itu, Rabu (24/4).

Mareena Thaha Reffai, pendiri kelompok Muslimah Sri Lanka, Al Muslim Aath, mengenang, tak pernah sekali pun komunitas Muslim membalas serangan-serangan tersebut. Serangan Hari Paskah ia khawatirkan akan membangkitkan sentimen negatif terhadap umat Islam. "Sesuatu yang besar telah menimpa kami," kata dia terkait serangan itu.

Menurut the Hindu, meski minoritas, Muslim Sri Lanka kerap dipandang sebagai kelompok saudagar yang sukses dan banyak mengisi posisi-posisi profesional. Meski kebanyakan berbicara dalam bahasa Tamil, mereka mengasosiasikan diri sebagai etnis yang berbeda.

"Kami bahkan tak pernah terlibat adu mulut dengan umat Kristiani. Saya tak mengerti bagaimana indoktrinasi ini terjadi. Ini sangat mengkhawatirkan," kata Reefai.

Ketakutan umat Islam itu kian kental di wilayah Kattankudy, Batticaloa, lokasi salah satu ledakan. Kawasan itu dihuni komunitas Muslim dalam jumlah yang signifikan. Di wilayah itu juga National Thawheed Jama'at (NTJ) yang dituding terlibat pengeboman bermarkas. "Kami dilingkupi perasaan bersalah yang sukar dijelaskan," kata anggota Federasi Masjid Kattankudy ALM Sabeel.

Ia menuturkan, sudah sejak dua tahun belakangan, warga Muslim mencoba memperingatkan aparat keamanan soal keberadaan NTJ yang beranggotakan 50 sampai 60 orang di wilayah itu. Organisasi ini dipimpin pengkhutbah garis keras Zahran Hashim.

Presiden Dewan Muslim Sri Lanka NM Ameen juga menuturkan, mereka berulang kali melaporkan pada aparat berwenang soal konten radikalisme yang diajarkan Zahran Hashim. "Jika aparat lebih serius menangani laporan kami, mungkin keadaannya berbeda sekarang. Yang dilakukan kelompok itu tak bisa diterima dan kini telah menempatkan komunitas Muslim pada bahaya besar," kata Ameen.

"Kita sudah melihat begitu banyak serangan anti-Muslim di sini beberapa tahun belakangan, bukan?" ia melanjutkan.

Mohamed Hasan (41 tahun), seorang warga Kolombo, mengaku jarang sekali keluar rumah sejak serangan teror Hari Paskah. Keluarganya terus berupaya mencegahnya keluar dan melakukan pekerjaannya di perusahaan percetakan. "Mereka khawatir jika saya keluar maka tak akan bisa pulang hidup-hidup," ujar Hasan seperti dilansir AFP, kemarin.

Sementara, Zareena Begum (60 tahun) tak bisa tidur sejak peristiwa akhir pekan lalu. "Saya tahu, orang-orang marah kepada Muslim," kata dia. Ia mewajarkan reaksi itu mengingat keganasan serangan yang bahkan merenggut bayi dan anak-anak.

"Saya tak membayangkan kebencian seperti itu bisa merasuki hati orang-orang. Kebencian itu tak semestinya memicu kebencian lainnya," kata dia. Seperti Hasan, Zareena dan keluarganya juga tak berani keluar rumah. (Hadanayani/Rizky Jaramaya ed: fitriyan zamzami)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement