Rabu 24 Apr 2019 07:40 WIB

Menkeu Pertimbangkan Kenaikan Iuran BPJS PBI

Kemenkes belum mendapat informasi rencana kenaikan iuran BPJS itu.

Menteri Keuangan Sri Mulyani (ilustrasi)
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Menteri Keuangan Sri Mulyani (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Keuangan Sri Mulyani menyatakan sedang mengkaji kenaikan iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) yang dibayarkan melalui penerima bantuan iuran (PBI). Kenaikan iuran PBI ini merupakan salah satu upaya untuk menekan defisit keuangan yang dialami oleh BPJS.

"Kita sudah mulai mempertimbangkan untuk menaikkan iuran yang dibayarkan melalui PBI pemerintah," ujar Sri Mulyani usai sidang kabinet paripurna di Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat, Selasa (23/4).

Iuran PBI saat ini ditetapkan sebesar Rp 23 ribu. PBI adalah peserta jaminan kesehatan bagi fakir miskin dan orang tidak mampu yang iurannya dibayari negara. Peserta PBI ditetapkan pemerintah dan diatur melalui peraturan pemerintah.

Besaran iuran itu kemungkinan akan bertambah. Namun, Sri Mulyani menyatakan belum dapat memastikan jumlah kenaikan iuran PBI yang akan ditanggung anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) lantaran masih dalam proses pengkajian. "Namun, sudah ada ancang-ancang untuk menaikkan," ujarnya.

Menurut dia, pemerintah masih akan melakukan kajian terhadap BPJS Kesehatan berdasarkan audit dari Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Selain itu, pemerintah juga berencana menambah jumlah peserta PBI menjadi lebih dari 100 juta orang. Jumlah peserta PBI saat ini mencapai 96,8 juta jiwa.

Beberapa waktu lalu BPJS Kesehatan menggelontorkan dana Rp 11 triliun untuk membayar utang atau klaim jatuh tempo kepada rumah sakit. Di luar itu, BPJS Kesehatan juga melakukan pembayaran sebesar Rp 1,1 triliun dalam bentuk dana kapitasi kepada Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP).

Deputi Direksi Bidang Treasury dan Investasi BPJS Kesehatan Fadlul Imansyah mengatakan, uang Rp 11 triliun berasal dari pemerintah. Uang ini bukan dana talangan atau dana suntikan dan tidak ada kaitannya dengan audit yang kini tengah dilakukan BPKP. BPKP hingga kini masih melakukan audit sistem dan pelayanan asuransi sosial tersebut.

Dorongan agar pemerintah segera mencari solusi terkait ancaman defisit BPJS Kesehatan juga diungkapkan BPJS Watch.

Persoalan defisit ini masih menghantui lantaran solusi yang diambil pemerintah sejauh ini hanya untuk jangka pendek.

Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar mengatakan, per akhir Januari 2019 utang BPJS Kesehatan yang sudah jatuh tempo ke rumah sakit Rp 12,97 triliun, liabilitas pelayanan kesehatan dalam proses Rp 3,93 triliun, dan liabilitas pelayanan kesehatan belum dilaporkan Rp 17,53 triliun. Dari data ini, kata dia, terlihat besarnya utang yang sudah jatuh tempo maupun utang yang akan jatuh tempo.

"Yang saya harapkan adalah pascapilpres 2019 pemerintah merealisasikan janji untuk menaikkan iuran seperti yang dikemukakan Wakil Presiden Jusuf Kalla beberapa waktu yang lalu khususnya PBI, sehingga iuran bisa mengatasi utang dan defisit secara sistemis," kata dia.

Wapres JK sebelum Pemilu 2019 mengusulkan beberapa cara untuk mengatasi defisit keuangan BPJS Kesehatan. Salah satu yang diusulkan JK adalah menaikkan premi atau iuran peserta. Besaran premi saat ini dinilai tidak cukup untuk membiayai seluruh tagihan yang harus dibayar BPJS Kesehatan.

Kemenkes mengaku belum mendapat informasi mengenai rencana Kementerian Keuangan menaikkan premi PBI. "Kami juga belum terima undangan untuk membahas masalah ini," kata Kepala Pusat Pembiayaan Jaminan Kesehatan Kemenkes Kalsum Komaryani kepada Republika.

Kalsum menilai, persoalan iuran program ini memang harus ditangani. Sebab, kata dia, semua pihak tentu tidak ingin terus terjadi defisit di BPJS Kesehatan. Kendati demikian, Kemenkes belum mengetahui pasti kapan dan berapa iuran akan dinaikkan. (dessy suviati saputri/rr laeny sulistyawati ed:mas alamil huda)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement