REPUBLIKA.CO.ID, Setiap tahun Republika menggelar penganugerahan Tokoh Perubahan. Mereka yang terpilih adalah sosok- sosok yang memberikan kontribusi nyata bagi bangsa dan melakukan perubahan di tengah masyarakat.
Bencana demi bencana silih berganti melanda Indonesia. Sepanjang 2018, tak kurang dari 2.564 bencana terjadi di berbagai daerah di Tanah Air. Ribuan bencana itu menyebabkan 3.349 orang meninggal, 1.432 orang hilang, 21.064 orang luka-luka, 10,2 juta orang mengungsi dan terdampak, serta 319.527 unit rumah rusak.
Tak heran jika Wakil Presiden Jusuf Kalla menyebut Indonesia sebagai supermarket bencana. Betapa tidak. Bencana gempa bumi, tsunami, longsor, banjir, erupsi gunung dan kekeringan seakan tak henti menguji negeri ini. Indonesia memang dikenal sebagai negara berisiko bencana tinggi karena berada di jalur cincin api (ring of fire).
Setiap kali bencana melanda, sosok Sutopo Purwo Nugroho selalu tampil menyampaikan informasi kebencanaan terkini bagi publik di Tanah Air. Pria yang menjabat Kepala Pusat Data, Informasi, dan Hubungan Masyarakat Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) itu seakan tak mengenal kata lelah. Ia selalu siap menyampaikan informasi terbaru tentang kebencanaan. Kapan pun, ia selalu melayani dan memberi informasi kepada awak media yang menghubunginya.
Di balik penampilannya yang selalu ramah dan semangat, ternyata sudah empat belas bulan dua pekan ini, ia divonis menderita kanker paru-paru stadium 4. Meski begitu, Sutopo tetap bersemangat untuk menjalankan tugasnya sebagai juru bicara BNPB. Senin (15/4) pagi, ia sudah duduk sembari merapikan berkas yang ada di meja kerjanya,. Jaket hitam melekat di tubuh pria kelahiran Boyolali, Jawa Tengah itu. “Saya pakai jaket ya, tidak kuat terkena dingin AC,” tuturnya saat menemui tim Republika.
Sudah setahun ini, Sutopo harus berjuang melawan kanker paru-paru yang sudah menyebar sampai ke tulang belakang. Kondisi tersebut membuat tulang belakangnya sedikit bengkok ke kiri. Beberapa kali, Sutopo mengubah posisi duduknya agar lebih nyaman saat berbincang dengan kami. Ia kemudian kembali mengisahkan cerita ketika pertama kali mendapat kabar pahit ini.
Sutopo mengaku mendapat vonis ada kanker di paru-parunya pada 23 Januari 2018 lalu. Tepat saat gempa melanda Banten, Jakarta dan sekitarnya dengan kekuatan 6,4 skala richter. Dokter memprediksi umur Sutopo tak akan bertahan sampai tiga tahun. "Saya nangis dan dokter mengatakan kamu kanker paru-paru stadium 4, (saya tanya) Dok, bisa diobati nggak? (Dokter Jawab), nggak ada obatnya, kanker itu nggak bisa diobati, ya kamu paling kita kemoterapi, usiamu hanya bertahan 1 sampai 3 tahun, syok saya," kenang Sutopo.
Setelah mendengar vonis dokter, Sutopo mengaku seperti selalu dibayangi dengan gambaran kematian. Ia merasa belum siap meninggalkan istri dan anak-anaknya. "Kita semuanya kan sebenarnya tidak siap mati, tidak siap meninggalkan apa yang ada di dunia ini, tidak siap menghadapi kehidupan berikutnya," ujarnya seperti menerawang ke tempat jauh.
Ia sempat berpikir untuk menyerah pada tugasnya dan fokus untuk menyembuhkan kesehatannya. Baginya, saat itu, tugas menyampaikan informasi terkait kebencanaan sudah selesai. Ia sudah merasa melakukan tugas itu dengan baik selama ini. Namun, absennya dari tugas justru membuat informasi kebencaanaan tak terlayani dengan baik. Ratusan panggilan masuk ke nomor pribadinya. Pesan singkat juga terus berdatangan terkait bencana gempa di Banten dan Jakarta.
Paling parah, banyak informasi beredar simpang siur di media sosial. Akibatnya, berita pascagempa justru lebih banyak menimbulkan keresahan di masyarakat. Seperti munculnya informasi bahwa aka nada gempa megatrust menyusul gempa yang berpusat di Kabupaten Lebak, Banten. Saat itu lah, ia seperti kembali menemukan dirinya kembali setelah sempat ‘jatuh’ dalam bayang penyakit kanker.
"Lalu saya mikir mosok kok saya begini, toh sakit itu sesuatu yang sudah digariskan. Tapi selama saya hidup, ya saya harus tetap melayani teman-teman media. Mungkin di situlah bagian dari amal perbuatan, amal ibadah, yang bisa saya lakukan, melayani teman-teman media, melayani masyarakat," tuturnya.
Sutopo kembali pada seorang Sutopo yang selama ini dikenal masyarakat dan media. Seorang Sutopo yang selalu bersemangat mengabarkan berita kebencanaan, seorang lulusan Geografi Universitas Gadjah Mada yang mampu memerankan fungsi kehumasan dengan sangat apik. Ia pun memutuskan kembali menjalankan rutinitasnya di BNPB. Hanya saja, ia harus menambah jadwal rutin berusaha mengobati kankernya. Mulai dari kemoterapi hingga perawatan melalui radiasi.
Di tahun itu juga, putra dari Suharsono Harsosaputro ini harus ikut bangkit dari goncangan dua gempa besar yang melanda Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Sulawesi Tengah (Sulteng). Dua gempa besar yang melanda Tanah Air ini menjadi saksi kegigihan Sutopo berada di garda terdepan terkait informasi meski bergelut dengan penyakit kanker. Meski harus bolak-balik kemoterapi, suami dari Retno Utami Yulianingsih ini tetap melayani informasi kebencanaan.Terkadang, konferensi pers digelar di kantor BNPB usai pulang menjalani kemoterapi, tetapi tak jarang penyampaian informasi terkini soal tsunami dan likuefaksi yang ikut meratakan Kota Palu pada Agustus tahun lalu harus dilakukan di kediamannya. "Lombok dan Palu, itu dalam kondisi saya sakit sekali, saya dalam kondisi harus bolak-balik kemoterapi,” ujarnya.
Semangat Sutopo juga kembali karena dukungan keluarga. Kedua anaknya, menjadi penyemangat terbesar untuknya. Hampir setiap saat, sang anak yang saat ini menempuh pendidikan di Universitas Diponegoro, Semarang selalu menyemangati melalui suara telepon. Sang istri yang tidak pernah mengeluh dalam kondisi suaminya ibarat menjadi doa tersendiri agar pria kelahiran 7 Oktober 1969 ini tetap kuat melayani masyarakat. “Doa saya kepada Allah ‘Ya Allah tubuh ini memang milikmu, apa yang saat ini saya kena kanker ini adalah kehendak-Mu, tapi berilah aku panjang usia agar aku bisa mendidik dan menemani anak-anakku hingga nanti,’ itu yang pertama selalu saya ucap dalam doa," tuturnya sembari sesekali menyeka air mata.
Titik balik
Sutopo kecil dulu sering mendapat perundungan. Sebabnya, ia miskin, jelek, berkulit hitam dan bodoh. Kepada Republika Sutopo mengaku hingga kelas dua Sekolah Dasar, belum bisa membaca dan menulis. Ia tinggal bersama kedua orang tuanya dengan mengontrak rumah gedek (anyaman bambu) di Kota Boyolali. Rumahnya masih beralas tanah lempung. Tiap sehabis hujan, muncul laron-laron dari dalam tanah di dalam rumahnya.
Sutopo mengingat, saat itu justru menjadi peristiwa menyenangkan baginya. Sebab, ia akan menangkap laron-laron itu, dan sang ibu Sri Roosmandari akan membuatkan rempeyek laron untuknya. “Tambah nasi dan garam enak sekali,” kenangnya.
Meski bodoh, Sutopo kecil rajin membantu orang tuanya terkait pekerjaan rumah. Ia mendapat tugas menyapu halaman. Hal inilah yang menjadi titik balik kehidupannya saat itu. Sutopo menceritakan, perubahan totol kehidupannya diperoleh setelah mendapat pujian dari Ibu Guru Sri Suwarti. Ketika itu, Sutopo kecil yang duduk di kelas empat SD, tengah menyapu halaman rumah, Ibu Guru Sri Suwarti lewat di depan rumahnya. “Ketika menyapu itu Bu Suwarti lewat, beliau memuji saya, Topo rajin ya bantu ibunya menyapu halaman. Besoknya siangnya di sekolahan, di kelas dipuji. Saya merasakan pujian itu menyenangkan, dan bangga,” ujar Sutopo.
Dari pujian sang guru, Sutopo menyadari bahwa menjadi orang pintar itu menyenangkan. Akhirnya, ia bertekad dan terus belajar. Hasilnya, sejak kelas lima SD hingga nemempuh pendidikan di perguruan tinggi, Sutopo yang beranjak dewasa terus menuai prestasi. Ia mengenang, selalu menyenangkan ketika orang tuanya mengambil rapor hasil belajar di sekolah. “Bangga saya lihat Bapak saya, karena setiap ditanya Sutopo gimana gitu jadi omongan. Itu rasa kepuasan membahagiakan orang tua,” kenangnya.