Senin 22 Apr 2019 07:03 WIB

Ketika Ulama 'Ditipu' Jenderal

Ini tentang dinamika politik di Sudan yang melibatkan ulama dan jenderal.

Ikhwanul Kiram Mashuri
Foto: Republika/Daan
Ikhwanul Kiram Mashuri

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ikhwanul Kiram Mashuri

Ini tentang Sudan. Dinamika politik dan keamanan negara Arab di Afrika Utara itu dalam beberapa hari ini berkembang cepat. Aksi unjuk rasa sejak Desember 2018, pada 11 April lalu, akhirnya berhasil menggulingkan Presiden Omar Bashir. Mantan orang kuat yang berkuasa selama 30 tahun itu kini meringkuk dalam penjara.

Kekuasaan untuk sementara diambil alih oleh al-Majlis al-'Asykary al-Intiqoly, sebuah Dewan Militer untuk Transisi yang baru dibentuk oleh para jenderal. Anggotanya 10 jenderal, diketuai Jenderal Awad bin Auf. Namun, lantaran Auf dianggap sebagai bagian dari rezim Bashir, sehari kemudian ia pun dikudeta oleh koleganya sendiri, Jenderal Abdul Fattah Burhan, atas desakan para pengunjuk rasa.

Auf sebelumnya menjabat menteri pertahanan merangkap wakil pertama Presiden Bashir. Sedangkan Jenderal Burhan menjabat sebagai inspektur jenderal angkatan bersenjata. Burhan dianggap jenderal yang relatif bersih dan bisa diterima para pengunjuk rasa. Setelah menjadi ketua Dewan Militer untuk Transisi, semua pejabat penting di era rezim Omar Bashir pun ia bersihkan.

Hingga kemarin, ketika kolom ini saya tulis, aksi unjuk rasa masih terus berlangsung. Para pemimpin gerakan protes menuntut pembentukan Dewan Kedaulatan Sipil (Majlis Siyadi Madani) untuk menggantikan junta militer yang telah mengambil alih kekuasaan sejak penggulingan Presiden Omar Bashir pekan lalu.

Yang menyedihkan, pengambilalihan kekuasaan di Sudan oleh militer kali ini bukanlah yang pertama. Sejarah negara ini sejak merdeka tahun 1956, selalu diwarnai perebutan kekuasaan dan kudeta para jenderal.

Instabilitas seperti ini tentu telah merobek kesatuan, menguras sumber daya, menghancurkan kedaulatan, mengerdilkan wilayahnya yang luas, serta menjerumuskan rakyat dalam kesengsaraan dan kemiskinan.

Lihatlah, hanya dua tahun setelah merdeka, sebuah kudeta militer terjadi, dipimpin Jenderal Ibrahim Abboud. Ia terus berkuasa hingga dilengserkan revolusi rakyat pada 1964. Sayangnya, partai-partai politik gagal menyelenggarakan pemerintahan yang demokratis.

Mereka berdebat lama soal sistem kekuasaan, konstitusi, dan menyianyiakan waktu tanpa keputusan. Instabilitas politik dan keamanan inilah yang lalu dimanfaatkan Marsekal Jaafar Nimeiri mengambil alih kekuasaan pada 1969.

Pada awalnya, Nimeiri berkiblat ke Uni Soviet dan mendirikan partai politik Uni Sosialis Sudan. Kebijakan politiknya pun sosialis dan Pan-Arabisme. Namun, seiring dengan perjalanan waktu dan perkembangan dunia, kebijakan politik Nimeiri pun berubah.

Pemerintahannya kemudian lebih dekat ke Amerika Serikat daripada Uni Soviet, bahkan hingga terjadi pertumpahan darah terhadap orang-orang sosialis dan komunis, yang menjadikan Sudan makin tidak menentu.

Watak kekuasaan militer yang dikendalikan para jenderal pun terulang kembali. Yaitu lebih mementingkan kekuasaan daripada memikirkan nasib rakyat. Hal inilah yang kemudian mempercepat terjadinya revolusi yang menggulingkan kekuasaan Presiden Jaafar Nimeiri pada 1985.

Sayangnya, sekali lagi, partai-partai politik tampaknya tidak mengambil pelajaran dari masa lalu. Mereka kembali berdebat kusir mengenai sistem pemerintahan, undang-undang, serta sumber atau referensi hukum. Mereka tidak sadar ada satu kelompok, sebuah gerakan Islam, siap mengambil alih kekuasaan.

Sebuah siaran radio dan televisi, tertanggal 30 Juni 1989, mengumumkan kekuasaan negara telah diambil alih oleh sebuah kelompok yang dipimpin seorang perwira penerjun payung bernama Omar Hasan Bashir. Siaran itu tidak menjelaskan lebih jauh tentang identitas sang pemimpin baru.

Namun, cerita di balik itu, menurut pengamat Timur Tengah yang juga pemimpin redaksi media al-Sharq al-Awsat, Ghassan Charbel, sangat menarik.

Perwira Bashir yang waktu itu ‘bukan siapa-siapa’ dibawa sekelompok orang ke Khartoum (ibu kota Sudan), untuk dipertemukan dengan pemimpin gerakan Islam, Sheikh Dr Hasan Turabi. Yang terakhir ini disebut-sebut sebagai tokoh yang sebenarnya di balik pengambilalihan kekuasaan itu.

Kepada perwira muda yang baru dilihat pertama kalinya itu, Sheikh Turabi mengatakan, "Kamu akan pergi ke istana sebagai presiden. Saya akan pergi ke penjara sebagai narapidana." Sheikh Turabi kemudian benar-benar dijebloskan ke penjara dan mulailah era rezim Omar Bashir, yang lalu menaikkan kepangkatan militernya menjadi jenderal.

Tijani al-Tayeb, salah seorang pemimpin Partai Komunis, seperti diceritakan Charbel, mengatakan, trik Turabi akhirnya tersingkap ketika di penjara. Usman Umar dari Partai Uni Demokrasi (DUP) yang sama-sama dijebloskan ke penjara bersuara lantang ketika melihat Turabi, "Inilah untuk pertama kalinya dalam sejarah seorang pemimpin kudeta dijebloskan ke penjara bersama para narapidana lain."

Turabi sendiri hanya tersenyum. Ia berusaha menyembunyikan cerita yang sebenarnya. Ia pun tampak senang bercengkerama dengan narapidana lainnya.

Ia juga selalu mengimami shalat jamaah. Namun, Turabi tidak bisa menyembunyikan kegembiraannya ketika Partai Komunis yang memerintah Uni Soviet--yang ia sebut sebagai ‘setan besar’--runtuh dan bubar.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement