REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA-- Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU), Wahyu Setiawan, menangggapi usulan Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang meminta hitung cepat (quick count) ditiadakan. Menurutnya, keberadaan lembaga survei yang merilis hasil survei, quick count dan jejak pendapat saat Pemilu 2019 dijamin oleh UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017.
"Keberadaan lembaga survei berdasarkan UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 memang diperbolehkan," ujar Wahyu saat dihubungi wartawan, Ahad (21/4).
Wahyu menegaskan, bahwa lembaga survei merupakan salah satu bentuk partisipasi masyarakat dalam pemilu yang diakui secara legal. "Jadi dari sisi peraturan perundangan tidak ada permasalahan dengan lembaga survei tersebut karena memang diatur dalam UU bahwa keberadaan lembaga survei itu salah satu bentuk dari partisipasi masyarakat dalam pemilu," jelasnya.
Apalagi, lembaga-lembaga survei yang melakukan quick count pada Pemilu 2019 merupakan lembaga survei yang sudah terdaftar dan terverifikasi di KPU. Dalam pandangan KPU, lembaga-lembaga tersebut yang berhak untuk melakukan quick count.
"Terkait dengan hasil survei tentu saja kita kembalikan lagi kepada lembaga survei karena lembaga survei itu harus mempertanggungjawabkan hasil surveinya terutama dari sisi metodologi," tambahnya.
Sebelumnya, Ketua Dewan Pertimbangan MUI Din Syamsuddin meminta agar pengumuman hasil quick count dihentikan. Pihaknya pun meminta Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) menghentikan penyiaran hasil quick count sejumlah lembaga survei karena telah menimbulkan kegaduhan dan berefek buruk bagi demokrasi.