Senin 15 Apr 2019 13:48 WIB

Anies Akui Udara Jakarta Tercemar

Anies menyebut pencemaran udara di Jakarta merupakan fakta.

Rep: Mimi Kartika/ Red: Andi Nur Aminah
Gubernur DKI Jakarta Anies Rasyid Baswedan usai menghadiri Rapat Kerja Kesehatan Daerah (Rakerkesda) di Hotel JS Luwansa, Jakarta Selatan, Kamis (11/4).
Foto: Republika/Mimi Kartika
Gubernur DKI Jakarta Anies Rasyid Baswedan usai menghadiri Rapat Kerja Kesehatan Daerah (Rakerkesda) di Hotel JS Luwansa, Jakarta Selatan, Kamis (11/4).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Gubernur DKI Jakarta Anies Rasyid Baswedan menanggapi rencana Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mengajukan gugatan warga negara (citizen lawsuit) terkait pencemaran udara. Menurut dia, pencemaran udara di Jakarta merupakan fakta.

"Kami mengapresiasi dan memang ini fakta, bukan opini. Fakta tentang polusi yang itu adalah efek dari pola kita melakukan mobilitas saat ini," ujar Anies di Balaikota, Jakarta Pusat, Senin (15/4).

Baca Juga

Ia mengatakan, udara yang tercemar dan polusi diakibatkan karena penggunaan kendaraan pribadi yang mendominasi jalanan Ibu Kota. Untuk itu, Anies akan mengupayakan transportasi umum yang menjangkau semua wilayah Jakarta.

Ia melanjutkan, Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI akan mengadopsi transportasi umum massal dengan energi ramah lingkungan. Salah satunya dengan kendaraan energi berbasis listrik. "Ke depannya kita berharap nanti justru semua bisa berbasis listrik. Lalu yang ketiga adalah kontrol emisi di kendaraan-kendaraan pribadi," kata Anies.

Menurutnya, mengenai pengawasan terhadap emisi kendaraan pribadi, Pemprov sedang menyiapkan regulasi. Anies menyebut, jaringan regulasi itu akan rampung pada 2020 mendatang. "Ini nanti kita sedang siapkan regulasi networknya, harapannya di 2020 kita bisa lakukan untuk semua. Kira-kira arahnya seperti itu, dengan demikian maka ini bisa kita bereskan dengan lebih baik," jelas dia.

Di samping itu, Anies mengatakan, udara kotor di Jakarta juga diakibatkan oleh warga itu sendiri. Sehingga, ia meminta seluruh pihak terlibat mengatasi masalah pencemaran udara di Kota Metropolitan ini. "Jadi ini adalah kerja bersama melibatkan seluruh masyarakat, karena udara kotor ini adalah udara yang kita kotori sama-sama," imbuh Anies.

Ia mengatakan, telah memasukkan isu permasalahan udara Jakarta dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD). Di sisi lain, ia tak mempermasalahkan gugatan tersebut. Menurutnya setiap warga negara memiliki hak menggunakan jalur hukum.

Sebelumnya, LBH Jakarta dan YLBHI membuka pos pengaduan calon penggugat dalam rangka pengajuan gugatan warga negara terkait pencemaran udara di Jakarta. Sebab, pencemaran udara di Jakarta dinilai sudah melewati ambang batas. "Pos pengaduan akan dibuka selama satu bulan terhitung sejak 14 April 2019 sampai 14 Mei 2019," kata Kepala Bidang Perkotaan dan Masyarakat Urban Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Nelson Nikodemus Simamora.

Dalam siaran persnya, pembukaan pos pengaduan ini diharapkan agar setiap warga Jakarta atau warga di luar Jakarta berperan serta dalam upaya perbaikan kualitas udara. Salah satu polutan paling berbahaya yang menjadi ancaman udara Jakarta yakni Particulate Matter (PM) 2.5.

Data resmi yang dirilis oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menunjukan angka rata rata tahunan PM 2.5 sudah melebihi ambang batas baku mutu udara ambien. Data rata-rata tahunan PM 2.5 menunjukan angka 34.57 ug/m3 yang artinya sudah melebihi dua kali lipat baku mutu udara ambien nasional (15 ug/m3).

Pada dokumen KLHK yang sama menyebutkan bahwa pada tahun 2018 dari satu stasiun pantau yang terletak di GBK, menunjukan ada 196 hari tidak sehat. Dampak kesehatan atas pencemaran udara khususnya PM 2.5 yang tersebut.

Di antaranya berbagai macam penyakit itu mulai dari infeksi saluran pernafasan (ISPA), jantung, paru-paru, risiko kematian dini, sampai kanker. Hal itu karena senyawa-senyawa yang terkandung di dalamnya.

Menurut Nelson, sesungguhnya hak atas udara yang bersih merupakan bagian dari hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Serta hak untuk hidup sehat sebagaimana dimandatkan Pasal 28H Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1999 tentang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement