Rabu 10 Apr 2019 22:53 WIB

Fahira: Proses Kasus AY Harus Ditangani Proporsional

Fahira Idris meminta proses hukum korban dan pelaku dilakukan proporsional

Rep: Muhammad Tiarso Baharizqi/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah
Ketua Komite III DPD RI, Fahira Idris
Foto: Instagram Fahira Idris
Ketua Komite III DPD RI, Fahira Idris

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Kasus kekerasan anak dibawah umur kembali terjadi Indonesia, kali ini nasib malang dialami oleh AY (14) siswi SMP asal Pontianak Kalimantan Barat. Siswi SMP ini menjadi korban pengeroyokan oleh siswa SMA yang ada di kotanya. 

Kasus inipun akhirnya viral dan menjadi perbincangan di media sosial dan memunculkan tagar #JusticeForAudrey , pada selasa (9/4). Tagar tersebut menjadi trending topic di media sosial hingga kini. 

Baca Juga

Kasus ini memunculkan beragam reaksi dari salah satu tokoh. Salah satu tokoh yang memberikan komentar terkait kasus ini adalah Anggota DPD RI, Fahira Idris.

Fahira Idris yang juga seorang aktivis perempuan dan anak mengungkapkan, proses hukum yang adil menjadi jalan terbaik agar kekerasan yang melibatkan anak, baik sebagai korban maupun sebagai pelaku ditangani secara proporsional. Selain itu, peristiwa ini juga harus menjadi pelajaran bagi semua pihak terutama pemangku kepentingan terkait anak bahwa kita masih belum mempunyai sistem perlindungan anak yang komprehensif terutama sistem yang mampu mencegah anak menjadi pelaku kekerasan.

“Anak kita AY, harus mendapat keadilan agar kejadian serupa tidak terulang lagi. Haknya di mata hukum harus dipenuhi. Haknya mendapat perlindungan mulai dari kesehatan, pemulihan psikis, dan rasa aman juga harus terpenuhi. Sementara bagi pelaku, hukum harus ditegakkan, tetapi harus tetap memperhatikan kepentingan pelaku yang juga masih anak-anak seperti yang diamanatkan Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA),” ujar Anggota DPD RI ,Rabu, (10/4).

Menurut Fahira, perkara hukum yang melibatkan anak, baik sebagai korban maupun sebagai pelaku harus hati-hati karena banyak dimensi yang harus dipenuhi agar hak-hak mereka sebagai anak tidak tercerabut terutama pendidikan. Proses hukum dan sanksi yang diterima pelaku sedapat mungkin sifatnya harus menyadarkan.

Dalam UU SPPA, lanjut Fahira, pelaku tindak pidana anak dapat dikenakan dua jenis sanksi, yaitu sanksi tindakan (bagi pelaku tindak pidana yang berumur di bawah 14 tahun) dan sanksi pidana (bagi pelaku tindak pidana yang berumur 15 tahun ke atas). Sanksi tindakan sifatnya lebih ringan mulai dari dikembalikan ke orang tua hingga kewajiban mengikuti berbagai pelatihan dan proses penyadaran.

Sementara sanksi pidana mulai dari pidana peringatan, pelayanan masyarakat hingga yang terberat pidana penjara. “Kita serahkan kasus ini kepada aparat penegak hukum. Saya berharap UU SPPA dijadikan landasan hukum untuk memproses kasus ini. Semoga AY mendapat keadilan, dan pelaku menyadari kesalahannya serta menjadi pelajaran bagi orang tua dan anak-anak kita bahwa tindak kekerasan apalagi fisik adalah tindakan pidana,” jelas Fahira.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement