REPUBLIKA.CO.ID, SAMARINDA -- Kekerasan terhadap anak di Kabupaten Kutai Kartanegera (Kukar) Kalimantan Timur dalam kurun 2016-2018 terdeteksi sebanyak 67 kasus. Kabid Pemberdayaan Perempuan dan Anak (PPA) Dinas Kependudukan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Provinsi Kalimantan Timur Noer Adenany prihatin karena mayoritas pelaku adalah orang terdekat korban seperti ayah atau paman korban.
Ia berharap semua pihak harus terus melakukan sosialisasi karena efek trauma ini bisa berdampak jangka panjang. Noer menuturkan sebagian besar kekerasan terhadap anak terjadi di rumah anak itu sendiri. Kekerasan dapat terjadi di lingkungan sekolah dan di kelompok tempat anak berinteraksi. Padahal hak anak merupakan bagian HAM yang harus dijamin, dilindungi, dan dipenuhi oleh orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah, dan negara.
Kekerasan terhadap anak bisa berupa tindak kekerasan secara fisik, seksual, penganiyaan emosional, atau pengabaian terhadap anak. Kekerasan fisik seperti memukul anak dengan atau tanpa alat, mencubit, menyentil, menjewer, menampar atau menjambak. Sedangkan kekerasan seksual seperti mencium anak meski anak menolak dan membiarkan anak menonton/melihat adegan seksual.
Kekerasan emosional misalnya seperti menyebut anak nakal, bodoh, malas, membentak, mengancam, dan mempermalukan anak. Sedangkan pengabaian terhadap anak seperti tidak memenuhi kebutuhan dasar anak, mengacuhkan dan mengurung anak.
Melihat realita tersebut, semua pihak diharapkan dapat menjadi agen pelindung terhadap anak melalui pelembagaan pemenuhan hak anak pada lembaga pemerintah, nonpemerintah, dan dunia usaha. "Kemudian melalui penguatan dan pengembangan lembaga penyedia layanan peningkatan kualitas hidup anak, pencegahan kekerasan terhadap anak yang melibatkan para pihak di tingkat provinsi dan kabupaten/kota seperti lembaga PATBM dan Puspa," kata Noer pada Selasa (9/4).
Ia menilai perlu penyediaan layanan bagi anak yang memerlukan perlindungan khusus yang memerlukan koordinasi tingkat provinsi seperti rumah sakit, Unit PPA Kepolisian, P2TP2A, LPA, dan KPAID. Selain itu, penguatan dan pengembangan lembaga penyedia layanan bagi anak yang memerlukan perlindungan khusus tingkat provinsi dan lintas kabupaten/kota seperti panti, autis center, pusat rehabilitasi, dan lainnya.
"Semua upaya demi perlindungan anak harus berorientasi pada pelayanan ramah anak sesuai empat prinsip perlindungan anak yakni nondiskriminasi, kepentingan terbaik bagi anak, hak untuk hidup, kelangsungan hidup, perkembangan, serta penghargaan terhadap pendapat anak," ujarnya.