REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Sebanyak sembilan pemerintah kota dan kabupaten di Indonesia menandatangi nota kesepahaman untuk pengembangan destinasi wisata halal bersama Kementerian Pariwisata. Sembilan daerah tersebut merupakan daerah potensial baru yang akan didorong untuk menerapkan standar wisata halal Indonesia Muslim Travel Index.
Ke sembilan daerah itu yakni Kabupaten Bandung Barat, Kabupaten Cianjur, Kabupaten Bandung, Kabupaten Malang, Kota Malang, Kota Batu, Kota Tanjung Pinang, Kota Bandung, Kota Pekanbaru.
Menteri Pariwisata, Arief Yahya, mengatakan, nota kesepahaman tersebut digunakan pemerintah pusat untuk mengawal daerah mengimplementasikan IMTI. Adapun empat kriteria dalam IMTI yang harus dilakukan untuk meningkatkan kualitas industri pariwisata halal yakni aksesibiltas destinasi, komunikasi, lingkungan, dan jasa layanan wisata.
“Basisnya adalah IMTI, maka pemerintah pusat bersama Majelis Ulama Indonesia harus mengawal daerah. Pengalaman kita, kalau tidak ada MoU itu akan lepas,” kata Arief kepada Republika.co.id di Hotel Bidakara, Jakarta, Selasa (9/4).
Selain meneken nota kesepahaman bersama pemerintah kota dan kabupaten, Kemenpar juga menandatangi nota kesepahaman bersama tujuh pemerintah provinsi. Di antaranya yakni Provinsi Riau, Kepulauan Riau, Sumatra Barat, Jawa Barat, Jawa Timur, dan Sulawesi Selatan. Diharapkan, pemerintah provinsi mendukung implementasi IMTI di masing-masing wilayah.
Ia menerangkan, setelah adanya nota kesepahaman bersama, pemerintah daerah akan menjadikan kesepakatan tersebut dalam menyusun kebijakan anggaran daerah untuk pariwisata. Daerah tidak didorong untuk menerbitkan regulasi tersendiri.
Sebab, kata Arief, pihaknya segera mengeluarkan aturan khusus untuk pengembangan wisata halal. Namun, kata dia, aturan itu kemungkinan dalam bentuk edaran yang bersifat tidak mengikat sehingga daerah tidak memiliki beban yang besar.
Arief mengatakan, pemerintah siap memberikan penghargaan dan pendampingan bagi daerah yang berinisiatif untuk membangun destinasi wisata yang potensial. Menurutnya, hal itu sebagai bentuk insentif yang dapat diberikan oleh Kementerian Pariwisata.
Sementara ini, ia mengakui, kunjungan wisatawan muslim ke Indonesia dibanding ke negara-negara tetangga masih lebih rendah. Hal itu, karena belum semua kawasan wisata halal menerapkan empat aspek yang ditetapkan dalam IMTI. Adapun kendala terbesar saat ini yakni mengenai akses penerbangan dari dan menuju destinasi wisata halal.
“Padahal, 75 persen orang datang ke Indonesia menggunakan airlines,” ujarnya.
Berdasarkan hasil penilaian yang dilakukan oleh lembaga riset wisata halal internasional, CrescentRating bersama Mastercard, Indonesia menduduki peringkat pertama dalam Global Muslim Travel Index (GMTI) 2019. Arief mengakui, mempertahankan posisi Indonesia ke depan menjadi pekerjaan yang berat.
Ia menilai, hal ini harus didukung niat dan peran para kepala daerah. Arief mengatakan, seringkali, daerah yang diunggulkan memiliki penilaian yang buruk akibat tidak adanya dukungan dari daerah. “Anda tidak terlalu niat untuk menjadi pemenang. Sayang sekali punya sumber daya alam yang bagus tapi tidak jadi pemenang,” katanya.
Mengutip data Kemenpar, saat ini Indonesia memiliki 68 hotel yang telah memiliki sertifikat halal, 118 hotel dengan restoran yang tersertifikasi halal, serta 2660 hotel yang bebas dari makanan yang mengandung daging babi dan alkohol. Selain itu, Indonesia memiliki 6.333 restoran yang bersertifikat halal.
Dari 2.389 wisata alam yang ada saat ini, 755 destinasi diantaranya tergolong ramah muslim. Kemudian, 705 dari 1.260 keanekaragaman budaya nusantara ramah muslim serta memiliki 1.238 situs warisan Islam.