Senin 08 Apr 2019 20:53 WIB

Cegah Karhutla, KLHK Ketatkan Penjagaan Kawasan Gambut

Saat ini Indonesia memiliki ekosistem gambut seluas 24.667.804 hektare.

Rep: Imas Damayanti/ Red: Gita Amanda
Petugas Manggala Agni berusaha memadamkan kebakaran lahan gambut di Pekanbaru, Riau, Selasa (19/3/2019).
Foto: Antara/Ronny Muharman
Petugas Manggala Agni berusaha memadamkan kebakaran lahan gambut di Pekanbaru, Riau, Selasa (19/3/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, PALEMBANG -- Dalam upaya melakukan pengendalian terhadap Kebakaran Hutan dan Lahan (Karhutla), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyiapkan langkah antisipasi berupa penjagaan terhadap Kawasan Hidrologis Gambut (KHG). Diketahui, saat ini Indonesia memiliki ekosistem gambut berjumlah 865 KHG dengan total luas 24.667.804 hektare.

Total luas ekosistem KHG tersebut meliputi sejumlah pulau antara lain Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua. Sekretaris Jenderal KLHK Bambang Hendroyono mengatakan, pembuatan drainase di lahan gambut pada masa lalu yang pernah dilakukan untuk menyiapkan lahan pertanian menyebabkan keringnya lahan yang berpotensi memicu kebakaran.

Baca Juga

“Pada 2015, kita pernah mengalami karhutla. Dampaknya bukan hanya dirasakan di tingkat lokal, tapi juga oleh masyarakat internasional,” kata Bambang dalam keterangan pers yang diterima Republika.co.id, Senin (8/4).

Untuk itu, kata dia, pemerintah melalui instruksi Presiden Joko Widodo mulai memberikan langkah korektif terkait pengelolaan gambut. Salah satunya lewat Keputusan Menteri LHK Nomor SK.129/MENLHK/SETJEN/PKL.0/2/2017 tentang penetapan kesatuan hidrologis gambut nasional. Selain itu, baru-baru ini juga pemerintah mengeluarkan Peraturan Menteri LHK Nomor 10 Tahun 2019 tentang penentuan, penetapan, dan pengelolaan puncak kubah gambut berbasis KHG.

Dalam peraturan tersebut dijelaskan, puncak kubah gambut merupakan areal yang wajib dijadikan kawasan lindung. Dia melanjutkan, adapun areal di luar puncak kubah gambut dapat dimanfaatkan dengan tetap menjaga fungsi hidrologis gambut.

Bambang menjabarkan, pemanfaatan areal di luar puncak kubah gambut yang memiliki izin dapat dilakukan hingga jangka waktu izin berakhir dengan kewajiban menjaga fungsi hidrologis gambut.

Direktur Pengendalian Karhutla KLHK Raffles Pandjaitan menjabarkan, selama ini pemerintah berupaya mengajak seluruh elemen dalam upaya pengendalian karhutla. Usai pengalaman karhutla 2015 silam, kata dia, paradigma pengendalian karhutla telah berubah.

“Saat ini upaya pencegahannya lebih diutamakan pengendalian,” katanya.

Adapun pencegahan yang dimaksud adalah dengan sistem pendeteksi dini titik panas api melalui citra satelit dan ditindaklanjuti dengan pengecekan langsung ke lokasi. Menurutnya, KLHK terus melakukan patroli terpadu yang menggandeng sejumlah instansi antara lain Manggala Agni, TNI, Polri, pemerintah daerah, dan unsur masyarakat.

Berdasarkan catatan KLHK, pada 2016, patroli terpadu tersebut menjangkau 731 desa, tahun 2017 menjangkau 1.203 desa, 2018 menjangkau 1.255 desa, dan pada 2019 mampu menjangkau 1.240 desa. Hasilnya, kata Raffles, terdapat 80 persen desa-desa yang dijangkau patroli tidak terkena karhutla.

Sementara itu Guru Besar Perlindungan Hutan Institut Pertanian Bogor (IPB) Bambang Hero Saharjo menilai, berdasarkan hasil penelitian karhutla Riau, sebagian besar karhutla terjadi di lahan gambut. Oleh karena, kata dia, sudah sepatutnya masyarakat dan pemerintah mewaspadai turunnya muka air dengan mengaktifkan peran kanal melalui monitoring dan supervisi sekat kanal.

Dia juga menekankan kepada tim patroli karhutla untuk melakukan patroli secara rutin melalui pantauan udara, air, dan darat. Hal itu perlu dilakukan guna mencegah kebakaran berlanjut dan mengantisipasi terjadinya pembiaran lahan. Menurutnya, karhutla kerap terjadi di dalam kawasan hutan produksi dan kawasan hutan konversi.

“Maka para stakeholder harus tegas melakukan penertiban dan menindak apabila terjadi pelanggaran,” katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement