REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dalam pemilihan umun (Pemilu) 2019, calon legislatif (caleg) perempuan dan disabilitas akan menghadapi tantangan yang lebih sulit. Mereka berpotensi menjadi pihak yang rentan dirugikan karena sejumlah kendala yang dihadapi.
"Bukan hanya persoalan kesetaraan, namun juga permasalahan hukum pemilu dan potensi kecurangan yang tinggi. Potensi jual beli suara, manipulasi hasil pemilu setelah pencoblosan, akan menggerus perolehan suara caleg perempuan dan disabilitas," ujar Ketua KODE Inisiatif Veri Junaidi lewat keterangan resmi yang diterima, Senin (8/4).
Veri menambahkan, dukungan internal partai politik yang minim, dan pengetahuan sistem hukum dan pemilu yang terbatas juga menjadi kendala bagi mereka. Padahal dalam Pemilu 2019, terdapat 3.371 caleg perempuan dan 40 caleg penyandang disabilitas, dari jumlah caleg yaitu 8,400 orang.
"Mengingat kendala dan keterbatasan, baik struktur kuasa, saksi dan pendanaan. Seringkali, caleg perempuan dan disabilitas mengalami kebingungan akan upaya dan tindakan hukum yang mesti dilakukan," ujar Veri.
Maka dari itu, Veri mengimbau pada partai politik agar adil memperlakukan seluruh caleg. Tanpa membeda-bedakan caleg perempuan atau laki-laki, disabilitas ataupun yang tidak. "Karena mereka memiliki hak memilih dan dipilih yang sama. Partai politik wajib memberikan advokasi lebih terhadap caleg perempuan dan caleg disabilitas," ujar Veri.
Selain itu, para caleg perempuan dan disabilitas diharapkan lebih aktif dalam berkampanye. Guna menarik perhatian masyarakat untuk dipilih pada 17 April mendatang. "Caleg perempuan dan caleg disabilitas harus aktif dalam hal campaign dan mempromosikan visi, misi yang akan mereka lakukan," ujar Veri.