Jumat 05 Apr 2019 05:01 WIB

Cacat Logika Donald Trump

Cacat Logika karena kemampuan militer Israel lebih mengancam stabilitas kawasan.

Teguh Firmansyah
Foto: Republika/Kurnia Fakhrini
Teguh Firmansyah

REPUBLIKA.CO.ID, Donald Trump lagi-lagi membuat gaduh dunia. Setelah mengakui Yerusalem sebagai tanah Israel, kini Trump 'menghadiahkan' Dataran Tinggi Golan ke Perdana Menteri Benjamin Netanyahu.

Langkah Trump terbilang tak biasa karena di luar pakem pemimpin-pemimpin AS sebelumnya yang mengikuti keputusan PBB.  Salah satu alasan Trump mengakui Golan milik Israel adalah faktor stabilitas keamanan. Trump memandang Dataran Tinggi Golan strategis dan penting untuk keamanan Israel dan stabilitas regional.

Israel merasa terancam dengan kehadiran Iran dan milisi pendukungnya di Suriah yang bersekutu dengan Presiden Bashar al-Assad. Jet-jet Israel bahkan kerap menggempur basis-basis milisi di dekat Dataran Tinggi Golan. Karena itu, dengan menganeksasi Golan, mereka setidaknya mengurangi satu ancaman dari luar.   

Namun tetap saja, alasan itu tak dapat dibenarkan, baik secara logika maupun legal hukum. Secara logika, menjadi pertanyaan penting tentang  siapa sebetulnya yang menjadi ancaman.

Di Timur Tengah, Israel adalah satu-satunya pihak yang memiliki senjata nuklir. Sejak era 1960-an otoritas Zionis telah mengembangkan senjata mematikan tersebut.

Pada 2018 lalu, CNBC melaporkan, total senjata nuklir yang dimiliki Israel mencapai 80 hulu ledak. Namun, belum ada konfirmasi resmi apakah Israel telah melakukan tes nuklir.

Israel juga menjadi salah satu pihak yang memiliki sistem pertahanan rudal paling  canggih di Timur Tengah. Belakangan Israel dilaporkan sedang mengembangkan sistem pencegat rudal dengan teknologi laser.

Program ini digadang-gadang akan menjadi proyek pertahanan terbaru Israel ke depan yang menghabiskan biaya hingga miliaran shekel. Israel juga memiliki drone kelas wahid yang bisa digunakan untuk menyerang lawan-lawannya.

Israel dengan senjatanya secara brutal membombardir Jalur Gaza pada 2014. Ribuan warga Palestina meninggal. Dan serangan itu masih berlanjut hingga saat ini dengan alasan sebagai respons atas rudal kelompok Hamas. 

Israel juga selalu beralasan bahwa mereka memperkuat kekuatan militernya untuk mengantisipasi ancaman dari Iran.  Namun, seorang analis Anthony Cordesman dalam pernyataan beberapa tahun lalu mengatakan, "Israel sekarang lebih merupakan ancaman serius buat Iran, dibanding kemampuan Iran mengancam Israel."

Ia menambahkan, Israel telah mengembangkan senjata nuklirnya bertahun-tahun yang lalu. Mereka juga mengembangkan sistem basis rudal di darat dan opsi meluncurkan rudal dari perairan.

Menurut laporan Centre for Strategic and International Studies (CSIS), senjata termonuklir Israel mampu menyerang wilayah Iran seperti Teheran, Mashhad, Esfahan, Karah dan Tabriz. 

Lantas kalau begitu siapa sebenarnya yang menjadi ancaman di kawasan?  Disinilah logika Trump patut dipertanyakan.

Selain itu, pengakuan Trump jelas melanggar hukum internasional karena wilayah tersebut sejatinya memang milik Suriah. Israel mencaplok 1.500 kilometer persegi wilayah tersebut dalam Perang Enam Hari pada 1967.

Berdasarkan Resolusi DK PBB 497 disebutkan langkah sepihak Israel menganeksasi Dataran Tinggi Golan adalah tak sah. PBB tak membenarkan mencaplokan wilayah dengan kekuatan atau militer.

Resolusi 497 sekaligus respons atas keputusan parlemen Israel pada 1981 yang secara sepihak mengakui Dataran Tinggi Golan adalah bagian dari kedaulatan tinggi mereka.

Namun bukan pertama kali AS mengabaikan resolusi PBB. Catatan paling jelas adalah saat AS mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel pada 2017. Padahal wilayah tersebut masih disengketakan dan Palestina memiliki cita menjadikan Yerusalem Timur sebagai ibu kota mereka.

Akan tetapi, Presiden Donald Trump tutup telinga dan mata. Ia seolah tak memperdulikan cemoohan atau kecaman dari berbagai negara. Trump lebih memilih mengabulkan keinginan sekutu dekatnya Israel. 

AS juga berulangkali memveto keputusan PBB yang memberi keceman atau tekanan terhadap Israel. Hingga Desember 2017, tercatat sudah 43 kali AS menggunakan vetonya sebagai anggota tetap DK PBB untuk membela otoritas Zionis tersebut.

Dengan gambaran di atas secara jelas bisa diambil kesimpulan bahwa tak ada satu pun asalan untuk membenarkan Donald Trump mengakui Dataran Tinggi Golan bagian Israel.

Langkah Donald Trump jelas cacat logika dan menunjukkan keegoisan Paman Sam sebagai negara besar dunia. Hal ini juga memperlihatkan kesetiaan AS pada Israel.

Kritik kesetiaan AS mendukung Israel disampaikan oleh Ilhan Omar, muslimah AS pertama yang duduk di Kongres. Omar menilai dukungan dewan AS ke Israel lebih karena persoalan uang.  “It’s all about the Benjamins, baby,” ujar Omar lewat kicauannya di Twitter.   

*) Penulis adalah redaktur republika.co.id

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement