REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Muhammadiyah, sejak berdirinya, memperjuangkan Indonesia sebagai negara merdeka dengan nasionalisme Islam yang tinggi. Karena jasanyalah, kemudian Kiai Haji Ahmad Dahlan dan Nyai Ahmad Dahlan diangkat sebagai Pahlawan Nasional.
Sementara Soekarno, Soedirman, Fakhruddin, Mas Mansur, Ki Bagus Hadikusumo, Kasman Singedimedjo, Djuanda, dan tokoh-tokoh Muhammadiyah lainnya, juga merupakan nasionalis Islam sejati yang membela Tanah Air.
"Mereka juga diangkat pemerintah sebagai Pahlawan Nasional. Pasca-kemerdekaan pun Muhammadiyah selalu di depan dalam membela Negara Kesatuan Republik Indonesia," kata Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir melalui keterangan tertulisnya yang diterima Republika.co.id, Selasa (2/4).
Haedar menyampaikan, Ki Bagus Hadikusomo waktu itu (1942-1953) menjadi Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah bersama Mr Kasman Singodimedjo didukung para tokoh Islam lainnya mewakili umat Islam Indonesia menjadi penentu kompromi Piagam Jakarta sehingga lahir Sila pertama Pancasila, "Ketuhanan Yang Maha Esa" UUD 1945 yang di dalamnya mengandung lima sila Pancasila itu kemudian disahkan pada sidang PPKI tanggal 18 Agustus 1945.
"Inilah hadiah dan pengorbanan terbesar umat Islam untuk NKRI dengan dasar negara Pancasila dimana Muhammadiyah mengambil peran yang menentukan dalam sejarah Republik Indonesia tersebut," katanya.
Pascakemerdekaan dalam membela NKRI Muhammadiyah mewujudkannya dengan membangun kekuatan bangsa di bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, sosial, dan usaha-usaha lainnya untuk mencerdaskan, menyejahterakan, dan memajukan kehidupan bangsa Indonesia di seluruh tanah air.
“Nasionalisme dan pembelaan Muhammadiyah terhadap NKRI, Pancasila, UUD 1945, dan Kebinekaan tidak dengan retorika, tetapi dengan karya nyata sebagai bentuk kesaksian (syahadah) untuk mewujudkan Indonesia sebagai negara dan bangsa yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur sebagaimana cita-cita para pejuang dan pendiri Indonesia,” tutur Haedar.
Dengan pemikiran dan bukti sejarah yang terang benderang dan konkret itu, maka Muhammadiyah sejak berdiri sampai saat ini dan kapanpun senantiasa menyatukan perjuangan dakwahnya di Indonesia dengan NKRI, Pancasila, UUD 1945, dan Kebinekaan sebagai satu napas pergerakan.
“Bagi Muhammadiyah ideologi Pancasila dengan segala kaitan Empat Pilar lainnya sudah selesai dan tidak lagi menjadi bahan perdebatan baik secara teologis maupun ideologi dan politk, kecuali bagaimana berikhtiar mengisi atau mewujudkan seluruh nilainya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara,” tegas Haedar.
Karenanya, dalam Muktamar ke-47 tahun 2015 di Makassar secara resmi diputuskan pandangan dan sikap organisasi Muhammadiyah tentang "Negara Pancasila Darul Ahdi Wasyahadah".
Pemikiran dan sikap resmi Muhammadiyah tersebut keluar di era kepemimpinan Prof Dr HM Din Syamsuddin sebagai bukti dan aktualisasi warga dan institusi Muhammadiyah yang meletakkan NKRI berdasarkan Pancasila sebagai hasil kesepakatan atau konsensus nasional (Darul Ahdi) seluruh komponen bangsa termasuk umat Islam selaku penduduk mayoritas, sekaligus sebagai wujud kesaksian (Darus Syahadah) Muhammadiyah serta seluruh kekuatan bangsa agar Negara Pancasila tersebut benar-benar dibangun menuju cita-citanya.
Dalam makna sebaliknya, Muhammadiyah termasuk para warganya, tidak bersetuju dan tidak memberi ruang untuk adanya ideologi, pemikiran, sikap, dan pandangan yang ingin mewujudkan bentuk dan ideologi lainnya yang bertentangan dengan pandangan Negara Pancasila Darul Ahdi Wasyahadah. "Ideologi atau pandangan tentang negara khilafah sebagaimana halnya untuk negara komunis, negara sekuler, dan lainnya yang bertentangan dengan prinsip Negara Pancasila Darul Ahdi Was-Syahadah tertolak di dalam Muhammadiyah,” ucap Haedar.
Karena itu merupakan opini yang gegabah jika ada orang atau pihak yang menuduh atau menyebutkan Muhammadiyah dimasuki anggota organisasi lain yang mengusung ideologi negara khilafah (Politik) Islam, yang mengandung kesan Muhammadiyah membiarkan dan menyetujui ideologi yang bertentangan dengan prinsip Negara Pancasila Darul Ahdi Was-Syahadah.
“Tudingan tersebut dapat merugikan dan menimbulkan pandangan negatif terhadap Muhammadiyah sebagai organisasi modern dan moderat Islam terbesar yang telah terbukti komitmen dan jasanya untuk Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam rentang lebih satu abad,” imbuh Haedar.
Bersamaan dengan itu, Haedar mengajak para pejabat dan elite negeri maupun para cendekiawan dan warga bangsa betul-betul seksama dalam beropini dan menyampaikan pendapat atau pandangan seputar kebangsaan dalam berbagai kaitannya agar tidak menimbulkan kontroversi negatif dan kegaduhan di negeri ini. Karena, membawa-bawa isu ideologis yang kontraproduktif di tahun politik 2019 maupun dalam kehidupan kebangsaan secara umum hanya akan menambah suasana perselisihan ideologis yang tidak kondusif di tubuh bangsa ini.
“Kedepankan isu, opini, dan pandangan yang positif dan konstruktif agar tahun politik berkembang suasana demokratis sekaligus cerdas, damai, dan menyatukan kebersamaan dalam perbedaan. Seraya jauhi segala isu dan pernyataan yang meresahkan, meretakkan, mengancam, dan menyebarkan perselisihan tajam yang membawa pada perpecahan di tubuh bangsa Indonesia. Semuanya menuntut kebesaran jiwa disertai kecerdasan, kearifan, empati, pengorbanan, dan hikmah kebijaksanaan dari seluruh elite dan warga bangsa!,” pungkas Haedar.