REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Departemen Hubungan Internasional Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Shafiah Muhibat menilai, kedua calon presiden yang akan berkompetisi dalam Pemilu 2019, Joko Widodo (Jokowi) dan Prabowo Subianto, memiliki pendekatan berbeda mengenai politik luar negeri. Penilaian itu berdasarkan debat keempat antarcapres pada Sabtu akhir pekan lalu.
"Kalau boleh saya simpulkan, capres 01 (Jokowi) mengedepankan diplomasi sedangkan capres 02 (Prabowo) lebih memajukan isu-isu pertahanan dan militer," kata Shafiah, Senin (1/4).
Dalam debat capres keempat yang salah satu topiknya adalah hubungan internasional, Sabtu (30/3) lalu, Capres Nomor Urut 01 Jokowi menyoroti mengenai pentingnya diplomasi untuk menjalin hubungan dengan negara lain, terutama dalam bidang perdagangan dan investasi. Pendekatan yang dipaparkan Jokowi, menurut Shafiah, sangat berbeda dibandingkan pandangannya mengenai kebijakan luar negeri saat Pemilu 2014 yang lebih mengemukakan pendekatan geopolitik.
"Kalau kita ingat debat lima tahun lalu, banyak ide-ide terkait maritim yang disampaikan Jokowi, sedangkan dalam debat dua hari lalu sangat minim referensi mengenai ide-ide awal beliau mengenai maritim," tutur dia.
Sementara Capres Nomor Urut 02 Prabowo Subianto, dinilai lebih melihat kebijakan luar negeri dari pendekatan militer, sehingga teritori menjadi isu yang sangat penting. Menurut Shafiah, Prabowo melihat kebijakan luar negeri seharusnya dilakukan semaksimal mungkin untuk bisa mempertahankan keutuhan wilayah Indonesia.
"Berarti sifatnya melihat hubungan kita dengan negara lain bukan memajukan sifat-sifat kooperatif, tetapi bagaimana menjaga teritori Indonesia supaya tidak ada serangan atau ancaman dari negara lain," ujar dia.
Doktor lulusan Ilmu Politik Universitas Hamburg, Jerman itu tidak bisa menentukan pendekatan mana yang lebih baik diantara dua calon. Mengingat, perbedaan pandangan mengenai kebijakan luar negeri lumrah dimiliki oleh berbagai negara di dunia.
Namun, Shafiah memprediksi kebijakan politik luar negeri Indonesia tetap akan berlandaskan prinsip bebas aktif, yang pertama kali dikemukakan oleh Mohammad Hatta pada 2 September 1948. Bebas aktif mengacu pada kebijakan yang dirancang untuk melayani kepentingan nasional dan secara bersamaan memungkinkan Indonesia untuk bekerjasama dengan negara-negara lain, serta berkontribusi pada perdamaian dan keadilan sosial dunia.