Senin 01 Apr 2019 14:41 WIB

Sepenggal Kisah Hebron di Mata Saja

Setiap anak yang lahir di Hebron adalah pejuang kemerdekaan tanah dan airnya.

Jalan Shuhada di Hebron, Tepi Barat yang pernah menjadi jantung aktivitas warga kini sepi.
Jalan Shuhada di Hebron, Tepi Barat yang pernah menjadi jantung aktivitas warga kini sepi.

REPUBLIKA.CO.ID, Saja Marwan Zalloum adalah warga Kota Hebron, Tepi Barat. Wanita berusia 25 tahun ini adalah korban dari kekejaman tentara Israel.

Ayahnya, Marwan Zalloum, terbunuh saat agresi militer Israel pada 2002. Sejumlah peluru yang dimuntahkan dari helikopter menembus tubuh Marwan.

"Bapak saya dibunuh oleh Israel pada 2002 dan sejak saat itu saya hidup tanpa ayah," kata Saja ketika ditemui wartawan Republika, Ilham Tirta, di Amman, Yordania pekan lalu.

Kini, Saja bekerja di kantor wali kota Hebron. Serangkaian kisah pun mengalir tentang Hebron, manusia, dan maut yang mengintai dirinya dan warga Hebron.

Hebron adalah salah satu kota di Tepi Barat Palestina yang warganya paling menderita setelah Gaza akibat penguasaan wilayah oleh Israel. Karena itu, sejak 1997, kota tua itu diawasi tim Temporary International Presence in Hebron (TIPH) yang melaporkan kekerasan oleh pemukim Yahudi dan militer Israel.

Namun, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mengakhiri mandat TIPH pada Januari lalu. Pengusiran tim dari berbagai negara itu sekaligus menjadi penanda lahirnya penderitaan baru bagi warga Hebron. "Setelah mereka (TIPH) tidak bekerja lagi. Masyarakat khawatir membiarkan anaknya ke sekolah dan warga berhenti bekerja," kata Saja.

TIPH sendiri dibentuk sejak 1994 yang merupakan reaksi terhadap pembantaian yang di Masjid Ibrahimi-Hebron pada 25 Februari 1994. Serangan yang menewaskan 29 orang jamaah itu menyebabkan kerusuhan. Sebanyak 25 warga Palestina kembali terbunuh oleh tentara Israel.

Akibatnya, Kota Hebron terbagi dalam dua wilayah, yaitu H1 dan H2. Wilayah H1 di bawah kendali Pemerintah Palestina, sementara wilayah H2 dikontrol oleh Israel.

Selama ini, TIPH dari Swedia, Swis, Turki, dan Norwegia aktif merekam dan melaporkan kekerasan tentara Israel terhadap anak-anak, perempuan, dan orang tua di wilayah H2 Hebron. Israel, kata Saja, menganggap kegiatan TIPH itu sebagai gangguan. "Natanyahu mengatakan, kami tidak ingin ada orang yang bekerja untuk menyerang Israel," kata Saja.

Ia mengisahkan, setelah Hebron ditinggalkan TIPH, kehidupan warga H2 kembali dikekang. Warga yang pergi bekerja harus melalui cek poin oleh keamanan Israel. "Kehidupan begitu berat karena orang harus pergi ke sekolah dan bekerja, tapi sangat susah melakukannya," kata Saja.

Saja juga menceritakan, 24 Maret lalu, seorang mahasiswi Hebron dihentikan oleh keamanan Israel dan mereka membawanya. Kemudian, pada 26 Maret pagi seorang anak berumur antara enam sampai tujuh tahun mendapat kekerasan yang tidak manusiawi.

"Kekerasan selalu terjadi setiap hari karena tidak ada yang bisa merekam apa yang terjadi di sana. Tidak ada orang yang akan memberitahu dunia atau pegiat HAM apa yang terjadi di sana," kata Saja.

Namun, setiap anak yang lahir di tanah Hebron adalah pejuang bagi kemerdekaan tanah dan airnya. Menurut Saja, saat ini, wali kota Hebron telah menyerukan, khususnya anak-anak muda memanfaatkan ponsel pintar mereka untuk memotret atau merekam video jika terjadi insiden kekerasan.

Para pemuda Hebron bangun lebih pagi untuk mengawasi apa yang terjadi. Mereka kemudian mengunggahnya ke media sosial. "Bagaimana mengabarkan ketidakadilan yang kami terima di rumah kami sendiri, bagaimana membuat dunia tahu bahwa kekerasan Israel kepada Palestina nyata adanya," kata dia.

Saja mengatakan, saat ini, Palestina membutuhkan bantuan internasional untuk mendorong Israel dan Natanyahu membatalkan keputusannya. "Kami berharap, komunitas internasional membantu kami. Ini benar-benar tidak adil."

Koordinator urusan Palestina KBRI Yordania, Nico Adam, mengatakan, berdasarkan laporan Wali Kota Hebron Abu Sneineh, pengusiran TIPH telah berdampak banyak di wilayah H2. Di antaranya, penutupan tiga sekolah Palestina.

"Para siswa dan juga orang tua murid khawatir dan merasa takut anaknya akan mengalami kekerasan oleh aparat keamanan ataupun oleh pemukim ekstremis (settlers), baik dalam perjalanan pergi ataupun pulang dari sekolah," kata Nico.

Saat ini, kelompok pemuda setempat tinggal di beberapa tempat yang menghubungkan permukiman Palestina dengan sekolah anak mereka. Sejumlah titik itu dianggap sangat rentan kekerasan dan serangan dari kelompok ekstremis dan aparat keamanan Israel.

Namun, kata Nico, tugas tim pemantau swadaya yang hanya bermodalkan keberanian diri itu sangat berisiko memicu bentrokan fisik. "Sehubungan dengan hal tersebut, kiranya kondisi ini memerlukan perhatian dunia internasional," kata dia.

Pada 17 Februari silam Wali Kota Hebron juga melaporkan telah terjadi kunjungan secara massal para pemukim Israel yang memasuki kawasan Kota Hebron. Mereka dikawal aparat keamanan Israel dengan persenjataan lengkap.

"Kunjungan secara berkelompok pemukim Yahudi ini sangat rawan memicu terjadinya bentrokan antarmasyarakat Palestina dengan pemukim ekstremis Yahudi," kata Nico.(ed:yeyen rostiyani)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement