REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Indonesia Corruption Watch (ICW) menanggapi gencarnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan operasi tangkap tangan (OTT) jelang Pemilu dan Pilpres 2019. ICW menilai, hal tersebut merupakan momen penting untuk jaga kualitas demokrasi.
Peneliti ICW Divisi korupsi Politik, Almas Sjafrina mengatakan momentum pemilu baik pilkada, pilpres maupun pileg merupakan saat-saat dimana korupsi gencar dilakukan oleh pejabat birokrasi untuk melanggengkan kekuasaan politik. Dan momen pilpres atau pileg, yang kali ini diselenggarakan bersama pada 2019, menjadi momen penting bagi KPK mengungkap korupsi yang dilakukan banyak pejabat negara.
"Karena sekarang momentumnya sedang pemilu, dalam konteks menjaga nilai demokrasi kita dari korupsi, saya rasa sangat penting bagi KPK untuk mengungkap berbagai praktek korupsi jelang pileg dan pilpres ini," kata Almas kepada wartawan, Jumat (29/3).
Diakui dia, bagaimanapun juga proses politik dan pemilu di Indonesia dikenal sangat berbiaya tinggi. Biaya politik yang tinggi ini memancing banyak politisi yang bersinggungan dengan pejabat negara untuk melakukan praktik-praktik korupsi, demi menutup biaya logistik pemenangan untuk memenangkan calon anggota legislatif (caleg) atau calon presiden (capres) atau calon wakil presiden (cawapres).
Menurut Almas, KPK tentu memiliki perhitungan dan pertimbangan tersendiri terhadap satu kasus korupsi, sehingga momen jelang pileg ini dianggap menjadi saat yang tepat untuk melakukan banyak OTT. Tetapi dari sisi ICW, ia melihat momen saat ini merupakan momen paling penting dan krusial menjaga demokrasi Indonesia bersih dari cara cara koruptif, demi melanggengkan praktik politik uang.
Ia mengakui selama ini KPK mengungkap kasus korupsi dan melakukan OTT tidak pernah melihat momentum. Karena hampir tiap tahun KPK mengungkap kasus korupsi dan melakukan OTT terhadap politisi, anggota DPR, kepala daerah atau pejabat negara.
"Tapi saat ini bisa jadi merupakan momen yang juga tidak kalah penting untuk ungkap berbagai praktik korupsi berkaitan dengan pemilu," terangnya.
ICW melihat salah satu faktor yang menjadi akar korupsi oleh para politikus di Indonesia adalah kebutuhan pendanaan politik, baik itu untuk pembiayaan partai politik atau untuk tim pemenangan. Semua biaya politik ini dikenal sangat mahal, karena harus membayar semua proses politik mulai dari awal pencalonan hingga teknis pemenangan.
"Tentu tidak semua politisi memiliki modal politik dengan jumlah yang besar, karena itu sumber pendanaan politik secara koruptif mungkin saja dijalankan, demi membiayai pemenangan baik secara legal untuk tim atau ilegal dengan jual beli suara," papar Almas.
Ini terbukti dengan OTT yang dilakukan KPK terakhir terhadap politikus Partai Golkar, yang terindikasi oleh KPK uang korupsi digunakan untuk cara pemenangan ilegal, dengan politik uang jual beli suara yang dikenal dengan serangan fajar. Jadi praktek seperti ini, menurutnya bukanlah hal yang baru, karena masih ada politisi yang mempercayai serangan fajar mampu membeli suara masyarakat untuk memenangkan dirinya di pileg mendatang.
Sebelumnya KPK menahan anggota DPR RI periode 2014-2019 Bowo Sidik Pangarso (BSP) bersama dua orang lainnya yang telah ditetapkan sebagai tersangka suap terkait korupsi distribusi pupuk. KPK menduga uang Rp 8 miliar yang diterima anggota Komisi VI DPR dari Fraksi Golkar, Bowo Sidik Pangarso berasal dari sejumlah perusahaan.
Uang yang diterima tersebut diduga telah diubah menjadi pecahan Rp 50 ribu dan Rp20 ribu sebagaimana ditemukan tim KPK dalam amplop-amplop di sebuah kantor di Jakarta. Kabiro Humas KPK Febri Diansyah mengungkapkan amplop-amplop berisi uang diduga dipersiapkan oleh Bowo untuk "serangan fajar" pada Pemilu 2019. Uang tersebut diduga terkait pencalonan Bowo sebagai anggota DPR RI di Daerah Pemilihan Jawa Tengah II.