Kamis 28 Mar 2019 16:10 WIB

Polri Klaim Data Preferensi Pemilih Untuk Petakan Kerawanan

Polri menyebut pendataan adalah hal yang wajar.

Rep: Arif Satrio Nugroho/Ali Mansur/ Red: Muhammad Hafil
Pemilu (ilustrasi).
Pemilu (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Polri mengakui bahwa ada anggota polisi yang melakukan pendataan preferensi pemilih Pemilu di beberapa daerah. Polri berdalih, pendataan itu digunakan untuk memetakan kerawanan.

Kepala Divisi Humas Polri Inspektur Jenderal Polisi Mohammad Iqbal membantah adanya motif politik dalam pendataan preferensi yang dilakukan polisi. Ia menyebut, pendataan itu untuk alasan keamanan.

Baca Juga

"Tidak ada kaitanya dengan motif politik, kita wajib mengetahui dapil, juga daerah mana yang terkonsentarasi paslon A dan paslon B. Untuk apa? kita ingin melakukan proses pengamanan di situ," kata Iqbal di Jakarta Selatan, Kamis (28/3).

Iqbal menyebut, pendataan ini adalah hal wajar yang telah dilakukan Polri tiap tahunnya. Polri mencoba mendata massa pendukung yang mendominasi dan menganalisis potensi bentrokan di wilayah tertentu.

Dari data yang didapat, Iqbal menjelaskan, Polri kemudian akan menentukan strategi pengamanan yang tepat diterapkan. "Jadi sama sekali tidak ada motif politik," ucap Jenderal Bintang Dua itu.

Iqbal pun meminta masyarakat tak meragukan netralitas Polri dalam penyelenggaraan Pemilu 2019. Menurut dia, Surat Telegram Kapolri Tito Karnavian yang berisi poin-poin penekanan kenetralan menjadi bukti netralitas. Ancaman sanksi hingga pencopotan jabatan telah menanti anggota Polri yang tampak tidak netral.

"Prinsipnya itu siapapun yang melalukan, pelanggaran terhadap netralitas akan kami proses dan ada mekanismenya," kata Mantan Wakapolda Jawa Timur itu.

Iqbal menambahkan, Polri menjamin keamanan Pemilu 2019 dengan kerja sama TNI dan seluruh pihak terkait. Namun, Iqbal juga menyampaikan, Polri juga membutuhkan kerja sama seluruh lapisan masyarakat agar menjaga berlangsungnya pesta demokrasi lima tahun sekali itu.

Sebelumnya, beredar isu Kepolisian Republik Indonesia atau Polri bekerja di luar urusan hukum di tahun politik ini. Penegak hukum itu diisukan melakukan pemetaan dukungan masyarakat terhadap setiap kandidat di wilayahnya dalam pemilihan presiden (Pilpres) 2019. Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo Subianto-Sandiaga Uno pun mempertanyakan motif Polri tersebut.

“Kami pun baru mengetahui informasi ini melalui media kemarin. Yang mana saudara Haris Azhar, Direktur Kantor Hukum dan HAM Lokataru sebagai sumber beritanya. Tentu kami juga mempertanyakan maksud, motif dan tujuan pendataan ini? Yang disinyalir dilakukan oleh pihak Polri," ungkap juru bicara Prabowo-Sandiaga, Suhendra Ratu Prawiranegara, dihubungi melalui pesan singkat, Kamis (28/3).

Menurut Politikus Partai Gerindra itu, jika menyangkut untuk pemetaan potensi kamtibmas, sah saja untuk dilakukan oleh Polri. Namun, Suhendra juga menanyakan, jika mengacu pada maksudnya tentu seharusnya tugas daripada intelejen, dan mekanismenya kenapa harus terbuka? Justru menurut Suhendra menjadi aneh jika mekanisme pemetaan intelejen tapi dilakukan dengan cara terbuka dan terekspose ke publik.

Lebih jauh, kata Suhendra, berdasar informasi berita yang diterima, pendataan justru sudah menggali potensi dukungan kepada calon atau kandidat tertentu dalam pilpres. Hal ini yang menurutnya, dapat bertentangan dengan azas demokrasi. Bahkan dikhawatirkan akan adanya intimidasi dan penyalahgunaan wewenang pihak aparat kepolisian nantinya.

"Seyogyanya pihak kepolisian tetap berpegang pada Azas Kewajiban Tri Brata dan UU Kepolisian, dan menjaga profesionalisme dalam menjalankan tugas dan kewenangnnya," tegasnya.

Oleh karena itu, pihaknya berharap peristiwa oknum Kapolres di Jawa Tengah yang ikut berkampanye dan mendukung salah satu capres pada pemilu 2004 tidak terulang lagi

saat ini. Kemungkinan kasus oknum Kapolres tersebut dijadikan bahan evaluasi internal pihak Polri, agar tidak masuk pada wilayah politik, yang memang bukan domainnya Polri.

"Apalagi Kapolri sudah mengeluarkan TR/edaran agar menjaga netralitas dalam pemilu. Jangan sampai justru TR tersebut ambivalen dan hanya sebatas formalitas semata. Tapi faktanya justru sebaliknya. Kami tidak berharap demikian," harap Suhendra.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement