REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Komisi VIII DPR RI, Ali Taher mendesak Kementrian Agama menghapus Peraturan Menteri Agama (PMA) 68 tahun 2015 tentang pengangkatan dan pemberhentian rektor dan ketua perguruan tinggi keagamaan. Menurut dia, peraturan tersebut berpotensi membuka jalur praktek Korupsi, Kolusi dan Nepotisme di lingkungan universitas Islam.
Menteri Agama, Lukman Hakim Syaifuddin mengatakan, Peraturan Menteri Agama (PMA) 68 tahun 2015 hadir untuk menjawab kebutuhan yang beragam. Dia juga menegaskan, hingga kini masih banyak lembaga pendidikan yang meminta Kemenag untuk terus mempertahankan PMA tersebut.
“Saya pikir ini isu yang lama, intinya Kementrian Agama sangat terbuka dan menerima masukan-masukan. Dan masukan pencabutan ini tidak kalah besar dengan masukan untuk tetap mempertahankan PMA 68. Karena banyak juga kalangan yang memandang PMA ini sebagai suatu yang positif,” jelas Lukman saat ditemui di Jakarta, Kamis (28/3).
Menurut dia, usulan DPR untuk menghapus peraturan tersebut, dikarenakan kurangnya pemahaman terkait substansi yang diatur dalam PMA. Dia juga mengatakan akan melakukan diskusi terbuka untuk membahas dan memaknai regulasi dalam PMA secara lebih luas dan objektif.
Lukman menjelaskan, PMA, sejatinya hadir untuk menjawab kebutuhan masyarakat terkait penetapan regulasi. Kalaupun adanya permintaan pengkajian ulang atau revisi, kemungkinan besar disebabkan perubahan zaman dan waktu yang terus berkembang. “Prinsipnya, Kemenag selalu membuka diri untuk senantiasa merevisi regulasi. Sekarang mungkin waktunya revisi, karena memang PMA 68 dibuat empat tahun lalu. Tapi kita lihat apakah ini masih relevan atau tidak,” kata Lukman.
“Kami sejauh ini juga menerima banyak masukan agar PMA itu dipertahankan karena manfaatnya sangat besar, disisi lain ada juga yang meminta adanya revisi di beberapa bagian. Kami akan menerima itu dan akan kita diskusikan,” jelas dia.
Terkait tuduhan adanya intervensi Kementrian Agama pada keputusan penetapan Rektor di universitas Islam, Menag dengan tegas menampik. Menurut dia, universitas dan lembaga pendidikan dibawah Kemenag jelas berbeda dengan lembaga pendidikan umum dibawah Kemendikbud yang sudah mampu berdiri sendiri, maka sudah sepatutnya tidak dibanding-bandingkan.
“Tergantung melihatnya darimana. Bagaimanapun juga seluruh PTIN kita, apakah itu STAIN, UIN atau IAIN, berbeda dengan pendidikan umum yang memang betul-betul otonom. Mereka lepas dari kemendikbud, jadi kita bisa lihatlah konteksnya seperti apa,” kata Menag.