REPUBLIKA.CO.ID, BANTUL -- Kampoeng Mataraman yang berada di Desa Panggungharjo, Sewon, Bantul tak henti-hentinya menarik perhatian. Sehingga, banyak yang mengunjungi kampung tersebut, baik wisatawan lokal, domestik maupun mancanegara.
Human Resource Departement Kampoeng Mataraman, Sekar Mirah Satriani mengatakan, rata-rata per hari pengunjung mencapai 200 hingga 300 pengunjung. Sementara, pada saat hari libur, bisa mencapai 400 pengunjung.
"Yang banyak itu hari Jumat, Sabtu dan Minggu," kata Sekar kepada Republika.co.id saat ditemui di Kampoeng Mataraman, Selasa (26/3).
Di kampung ini, memunculkan peradaban masyarakat seperti di abad 19. Kuliner, tata ruang hingga tradisi yang diangkat berdasarkan kehidupan di abad 19, sehingga pengunjung seakan-akan berada di zaman tersebut.
Karyawan yang dipekerjakan di kampung ini pun juga menggunakan pakaian pada masa itu. Tepatnya menggunakan pakaian yang dibuat dari tenun lurik.
Ada 49 karyawan yang saat ini bekerja di Kampoeng Mataraman. Seluruhnya merupakan warga setempat. "Kita memberdayakan warga sendiri untuk membangun desa," kata Sekar.
Pada awal berdirinya kampung ini, jumlah pengunjung per hari hanya mencapai kurang lebih 50 hingga 100 pengunjung per hari. Namun, seiring berjalannya waktu, saat ini dapat mencapai 400 saat akhir pekan.
Suksesnya Kampoeng Mataraman ini, tentu juga berpengaruh terhadap masyarakat yang dipekerjakan. Terlebih, kebanyakan warga yang dipekerjakan merupakan pengangguran, lansia, disabilitas dan ibu rumah tangga.
Salah satunya Sri Lestari (45). Ia sudah bekerja sejak berdirinya kampung ini, tepatnya pada Juni 2017 lalu.
Memulai karirnya di kampung ini, ibu rumah tangga ini awalnya masih bekerja serabutan. Memasak, menyapu hingga mencuci piring pun ia lakukan. "Karena awal ini dibuka, karyawannya hanya empat orang," kata Sri.
Semakin lama bekerja, akhirnya ia saat ini di divisi Product Planning Inventory Control (PPIC). Ditempatkan dibagian ini, ia bertugas mengatur perencanaan dan bagian belanja. "Sampai sekarang masih di PPIC," ujarnya.
Sebelum bekerja di Kampoeng Mataraman, ia pun sempat bekerja di sebuah perusahaan furnitur. Di sana, ia bertugas untuk melakukan finishing atau mengamplas kayu.
Pekerjaan tersebut bersifat borongan. Sehingga, membutuhkan tenaga dan waktu yang ekstra agar mendapatkan penghasilan yang lebih. Sementara, pekerjaan tersebut tidak sesuai dengan keahlian dan keinginannya. Terlebih ia seorang ibu rumah tangga.
"Pekerjaan itu tidaks sesuai dengan keahlian saya, tapi apa mau buat," ujarnya.
Bahkan, sewaktu ia bekerja di perusahaan furnitur tersebut, ia juga mencari sampingan lainnya. Sebab, penghasilan yang didapat dirasa tidak cukup.
Ia pun mencari sampingan dengan bekerja di sebuah usaha katering. Namun, saat kampung ini berdiri, ia memutuskan untuk bergabung dan menjadi salah satu karyawan.
Saat ini, ia merasa ada peningkatan ekonomi keluarganya. Bahkan, ia tidak harus mengeluarkan banyak tenaga seperti saat bekerja di perusahaan furnitur, saat bekerja di kampung ini.
"Lebih ringan sekarang, dulunya borongan jadi harus cepat-cepat dan butuh tenaga ekstra," kata Sri.