REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Umar Mukhtar/Wartawan Republika
Saat itu matahari belum tepat di atas kepala. Tapi hawa sudah begitu panas. Jarum jam menunjukkan pukul 10.30 waktu Indonesia Timur. Republika hendak berangkat menyisir kampung-kampung di tepi Danau Sentani, Jayapura, Papua, yang terdampak banjir bandang akhir pekan lalu.
Rute untuk sampai ke sana harus melewati dermaga Yahim. Tapi ternyata dermaga itu sudah tak terlihat seolah termakan Danau Sentani. Ya, dermaga telah tenggelam akibat luapan air danau pasca-banjir bandang akhir pekan kemarin.
Air meluap begitu jauh sampai ke area parkir motor. Ada motor yang terlihat stangnya saja. Beberapa rumah di dermaga juga tenggelam, hanya tampak atapnya. Jalan yang biasanya dilintasi motor dan mobil kini menjadi pangkalan perahu boat. Jarak luapan dari batas normal danau sekitar 100 meter.
Keberangkatan ini menggunakan perahu boat. Perahu berjalan perlahan melintasi rimbunan pepohonan yang menghalangi sinar matahari masuk. Pandangan makin melebar. Mesin boat berderu, tanda akan melaju kencang. Di atas perahu, mata ini tertuju pada sampah-sampah dan batang-batang pohon yang mengambang di permukaan danau. Warna air pun butek, hijau kecoklatan.
Perjalanan menuju permukiman di seberang ini memakan waktu sekitar 15 sampai 20 menit. Dari kejauhan, tampak ada rumah yang tenggelam. Semakin dekat, semakin jelas banyak rumah di pinggir Danau Sentani yang tenggelam. Area yang tadinya daratan pun sekarang dilewati perahu boat.
Ada rumah tenggelam yang masih menyisakan setengah dinding hingga atap. Ada pula yang masih tersisa bagian lantainya yang berbahan kayu. Tampak seorang pria paruh baya di dalamnya memberikan senyum selamat datang. Rumah-rumah itu terlihat dibangun dengan gaya panggung.
Sebagian rumah lain dibangun dengan pondasi batu kali yang amat tinggi. Tingginya antara 2 sampai 3 meter. Rumah inilah yang bertahan dan menjadi tempat penerimaan bantuan. Di siang hari itu, anak-anak kecil tampak dengan asiknya bermain di genangan air yang dangkal.
Dari banyak rumah yang tenggelam itu, salah satunya adalah sekolah PAUD sekaligus tempat bermain bagi anak-anak setempat. Di halaman PAUD itu ada alat-alat bermain seperti perosotan. Namun semuanya tenggelam.
Salah satu kampung di sini bernama Simporo, terletak di Distrik Ebungfau, Jayapura. Salah seorang warga Kampung Simporo, Distrik Ebungfau, Yuliana Tokoro mengeluhkan beberapa hari ini ia menderita batuk, flu dan sesak. Terkadang dia juga merasa sakit kepala sebelah. Kedua anaknya pun didera sakit batuk dan flu.
Yuliana mengatakan, kebutuhan yang paling mendesak saat ini adalah air bersih untuk minum, memasak dan mandi. Sejak peristiwa banjir bandang pekan lalu, warga sekitar memang banyak menerima bantuan botol air mineral. Dan Yuliana termasuk penerimanya tapi ia cemas jika persediaan habis.
"Dulu (sebelum banjir bandang), kalau minum ya pakai air dari danau, karena airnya jernih. Tapi setelah kejadian ini, tidak diambil lagi, sekarang pakai air botolan ini (kardus berisi botol air mineral bantuan dari berbagai pihak)," kata dia kepada Republika.co.id, Sabtu (23/3).
Warga lain, Yohanes Tokoro (36 tahun) menuturkan, akibat banjir bandang hingga membuat Danau Sentani meluap ini, banyak warga yang tidak bisa berkebun dan mencari ikan. Pikiran mereka jadi terfokus pada rumah yang tenggelam. Ikan-ikan yang tadinya mudah ditangkap kini menjadi sulit karena air yang kotor dan berubah warnanya. Sebelum terjadi banjir bandang, ia bilang, air danau ini jernih.
Setelah air danau ini meluap, Yohanes bersama warga lain mengandalkan air hujan untuk kebutuhan memasaknya. Mereka merasa beruntung ketika hujan turun lebat, sebab dengan begitu mereka bisa menampungnya dengan wadah. Namun, ketika persediaan air habis, terkadang mereka pergi ke tengah danau untuk mengambil airnya.
Air tersebut kemudian dimasak hingga mendidih untuk kemudian dikonsumsi sebagai kopi atau sejenisnya. "Mau ambil dari mana lagi, terkadang dari air hujan, terkadang dari danau," katanya.
Perjalanan berlanjut ke tempat pengungsian warga di Sekolah Dasar Inpres Yosiba. Letaknya berada tak jauh dari kampung Simporo. Tapi tetap harus menggunakan perahu boat. Untuk sampai ke SD itu, harus menaiki anak tangga karena berada di dataran tinggi. Tingginya sekitar 5 meter dari permukaan air danau.
Tiba di atas, terlihat hamparan luas. Di tengahnya berdiri sebuah bangunan dengan dinding berwarna kuning kecoklatan. Salah satu ruangan dijadikan tempat mengungsi. Di sudut sekolah, berdiri sebuah dapur beratapkan dan berdinding seng. Di sekeliling sekolah ini ada banyak gereja yang pasca-banjir bandang mendadak menjadi tempat pengungsian.
Paul Tokoro, salah satu warga yang mengungsi di SD, mengungkapkan, warga perlu terpal untuk menutupi dapur. Warga selama di pengungsian juga terkendala soal air bersih. Untuk buang air, warga harus ke bawah untuk mengambil air danau. Air itu kemudian dibawa ke kamar mandi yang terletak di belakang SD.
Sementara untuk minum, selain dari bantuan banyak pihak, lanjut Paul, sebagian warga juga memanfaatkan sumur-sumur air di rumah warga. Air yang tersisa di sumur tersebut direbus terlebih dulu, lalu digunakan untuk kebutuhan memasak.
Paul menjelaskan, bahan bakar memasaknya masih tradisional, yakni memakai minyak tanah dan kayu. Minyak tanah ini didapat dari hasil membeli di pasar dekat dermaga Yahim. Sedangkan kayu dicari sendiri oleh warga di hutan-hutan sekeliling. Gas tabung 3 kilogram, memang ada tapi cukup langka di pasaran.
Warga lain di kampung Simporo, Ida Wali (42 tahun), mengungkapkan hal berbeda terkait cara warga buang air kecil dan besar pasca-banjir bandang. Ida bersama beberapa tetangga memilih tinggal di lantai 2 rumahnya, karena lantai dasarnya tergenang air danau. Total ada sekitar 70 orang di rumah itu.
Ida menuturkan, septic tank di rumahnya rusak dan tidak ada MCK darurat yang dibangun di kampungnya. Akibatnya, jika ingin buang air, baik kecil atau besar, sebagian ada yang sampai harus mendayung ke tengah danau. Ada juga yang menggunakan semak-semak di sekitar kampung.
"Mau tak mau mencuci piring dan mandi pun di sini (di genangan air danau di depan rumah), karena WC juga rusak (enggak bisa dipakai). Harusnya ada MCK darurat," ucap dia.
Untuk kebutuhan air minum, Ida mengakui tiap hari ada bantuan datang berupa dus berisi botol air mineral. Tapi jumlahnya tak menentu. Namun yang pasti, imbuhnya, dalam sehari ia bisa menghabiskan 6 botol air mineral ukuran besar untuk 70 orang yang mengungsi di rumahnya. Termasuk buat memasak dan minum bagi anak-anak.
Kepala Distrik Ebungfau, Daniel Tako mengakui warganya memang membutuhkan pasokan air bersih untuk mereka minum dan juga memasak. Namun untuk sementara waktu, warga mengambil air dari sumur rumah untuk memasak air dan makanan. "Kalau buang air ada juga yang menumpang di gereja-gereja dan SD di atas," tandasnya.
Distrik Ebungfau terdiri dari 560 keluarga dengan total sekitar 3.000 orang. Ada lima kampung di distrik tersebut. Lima itu adalah kampung Putali, Abar, Kameyaka, Bambrongko, Simporo.