REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Muhammad Zainul Majdi menyayangkan kata "umat" yang sering dipakai di ruang sosial saat ini. Pemakaian itu seakan mempersempit makna dan melemahkan persatuan dan kesatuan "umat" secara fitrahnya. Padahal kata "umat", merupakan satu kesatuan dari suatu komunitas yang bersatu dalam satu bangsa dengan tujuan sama.
"Sekarang kita sadar maupun tidak sadar sering kita, atau sebagian kita, pada saat Rasulullah melapangkan dan meluaskan makna umat seluas-luasnya justru kita sekarang mempersempit dan membagi umat Rasulullah SAW itu menjadi bagian-bagian kecil," kata Muhammad Zainul Majdi saat menyampaikan Tablig Akbar dengan tema "Membongkar Batas Imajiner Umat" di Gd Manggala Wanabakti, Sabtu (23/3).
Menurut Tuan Guru Bajang (TGB), sapaan akrabnya, kata umat yang sering dipakai saat ini, terutama dalam kampanye politik, selalu diartikan dengan orang berpandangan dan tujuan politiknya sama. Di luar itu, kata TGB, bukan disebut umat.
"Yang sesuai dengan kepentingan kita, kita katakan umat, yang kira-kira satu pandangan ke agamaannya sama yang paling spesifiknya pandangan politiknya sama dengan kita itulah satu umat yang sama. Di luar itu bukan umat," ujarnya.
Untuk itu TGB mengajak kepada semua umat Muslim merenungkan bagaimana justru Nabi Muhammad SAW yang mulia, membangun pemahaman yang sangat lapang tentang konsep umat dan menghimpun di dalamnya. Pemahaman tentang cinta pada kebaikan dan selalu membersamai Allah SWT dalam aktivitas kehidupannya sehari-hari.
"Saya aja bapak ibu yang hadir semuanya tanpa kecuali. Apa yang Rasulullah SAW lakukan itulah yang paling otentik di dalam kita berIslam,"
TGB menambahkan, dan apa yang Rasulullah SAW, bangun sebagai tradisi ketika berdakwah, merupakan rujukan terbaik ketika kita sebagai umat Islam. "Bapak Ibu lihat di dalam Alquran yang juga menegaskan bahwa apa yang Rasul lakukan itulah makna umat," katanya.
TGB melanjutkan, di dalam Alquran surat Al-Hujurat ayat 13 yang artinya "Wahai segenap manusia kami telah menciptakan kalian dari seorang laki-laki dan perempuan, kami jadikan kalian bersuku-suku dan berbangsa-bangsa agar kalian saling mengenal."
"Di dalam kata saling mengenal dan saling mengisi, saling belajar, saling menyempurnakan, dan berkolaborasi," jelasnya.
Maka, kata TGB, sangat dibenarkan, kalau kemudian para ulama terdahulu menyebutkan kata umat Islam bukan untuk membatasi dengan umat yang lain.
"Akan tetapi untuk mengingatkan kita bahwa kata umat Islam itu memiliki tanggung jawab orang. Kalau berbicara orang dalam Alquran selalu konteknya itu kebaikan yang dapat dihadirkan di dalam kehidupan kita sekarang," katanya.